Minggu, 06 Januari 2013

PERANAN PENDIDIKAN NONFORMAL



BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
            Carut-marut dunia pendidikan Indonesia, sungguhnya merupakan sebuah realitas yang sangat memprihatinkan. Mahalnya biaya pendidikan yang tidak serta merta dibarengi dengan peningkatan kualitas secara signifikan, tentu menimbulkan tanda tanya besar mengenai orientasi pendidikan yang sebenarnya sedang ingin dicapai. Ironisnya, disaat beberapa negara tetangga terus berupaya keras melakukan peningkatan kualitas pada sektor pendidikan, banyak pihak di negara ini justru menempatkan pendidikan sebagai suatu komoditas yang memiliki nilai jual yang tinggi. Tak mengherankan bahwa ketika banyak pihak mengejar pendidikan dari sisi kuantitas, tentu menimbulkan berbagai macam konsekuensi logis seperti terabaikannya faktor kualitas pendidikan.

            Parahnya lagi, belakangan kita juga telah disadarkan bahwa banyak lulusan pendidikan formal tidak memiliki spesifikasi keahlian yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Menanggapi kondisi yang seperti ini, Paulus Wisnu Anggoro, Direktur UAJY-Delcam Traning Center, menuturkan bahwa banyak dari kalangan industri yang menjadi kliennya mengeluhkan keterbatasan skill yang dimiliki oleh para lulusan perguruan tinggi, sehingga mau tidak mau seorang fresh graduate harus dilatih dari awal lagi. Ini pemborosan untuk pihak perusahaan sebagai user lulusan perguruan tinggi.

Indonesia mengalami krisis SDM sebenarnya berpangkal pada buruknya kualitas pendidikan yang dilaksanakan. Untuk menghadapi krisis, sistem pendidikan memerlukan bantuan dari semua sektor kehidupan domestik dan pada beberapa kasus, juga memerlukan sumber-sumber di luar batas nasional.
           
B. Rumusan Masalah
  1. Peranan Pendidikan Non formal
  2. Sasaran dan Karakteristik Pendidikan Non Formal
  3. Peranan Keluarga dan Lingkungan





BAB II
PEMBAHASAN

A. Peranan Pendidikan Non Formal
            Lingkungan yang berfungsi melahirkan individu-individu terdidik (educational individuals) bukan hanya lingkungan keluarga yang disebut juga lingkungan pertama, lingkungan sekolah yang disebut juga lingkungan kedua, tetapi juga lingkungan masyarakat yang disebut juga lingkungan ketiga. (Purwanto, 1986 : 148). Peranan penting pendididkan pada lingkungan ketiga yang dikenal dengan lingkungan masyarakat atau pendidikan non formal dikarenakan manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia menjadi bagian dari pelbagai golongan dalam masyarakat, baik dengan sendirinya maupun dengan sengaja. Manusia dengan sendirinya adalah bagian dari keluarga, kota, negara dan kelompok agama. Tapi ada juga golongan yang dengan sengaja dimasuki seperti perkumpulan olah raga, serikat pekerja, koperasi, organisasi politik, perkumpulan kesenian dan lain-lain. Melalui kelompok-kelompok inilah pendidikan non formal dilakukan. Pendidikan non formal dapat menjadi pelengkap dari pendidikan formal, terlebih jika dikaitkan dengan keterbatasan-keterbatasan yang diakibatkan karena adanya krisis.

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sejalan dengan itu, sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajamen pendidikan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global sehinga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan.

Penyelenggaraan pendidikan nonformal (PNF) merupakan upaya dalam rangka mendukung perluasan akses dan peningkatan mutu layanan pendidikan bagi masyarakat. Jenis layanan dan satuan pembelajaran PNF sangat beragam, yaitu meliputi: (1) pendidikan kecakapan hidup, (2) pendidikan anak usia dini, (3) pendidikan kesetaraan seperti Paket A, B, dan C, (4) pendidikan keaksaraan, (5) pendidikan pemberdayaan perempuan, (6) pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja (kursus, magang, kelompok belajar usaha), serta (7) pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Dalam situasi demikian, makna dibalik fenomena bermunculannya lembaga pendidikan non formal sebenarnya lebih ingin memberikan ruang kesadaran baru pada masyarakat, bahwa upaya pendidikan bukan sekedar kegiatan untuk meraih sertifikasi atau legalitas semata. Lebih daripada itu, upaya pendidikan sejatinya merupakan kegiatan penyerapan dan internalisasi ilmu, yang pada akhirnya diharapkan mampu membawa peningkatan taraf kehidupan bagi individu maupun masyarakat dalam berbagai aspek.

Keunggulan lain yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal sebenarnya ada pada fleksibilitas waktu yang dimiliki. Selain bisa dijalankan secara manunggal, pendidikan non formal bisa dijalankan pula secara berdampingan dengan pendidikan formal. Tak mengherankan apabila belakangan lembaga pendidikan non formal tumbuh dengan pesat, berbanding lurus dengan tingginya minat masyarakat terhadap jenis pendidikan tersebut. Tidak hanya itu, lembaga pendidikan non formal juga berpeluang untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai. Hal ini terbukti dari banyaknya lembaga pendidikan non formal seperti ADTC dan Macell Education Center (MEC) yang siap menyalurkan lulusan terbaiknya ke berbagai perusahaan rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut dipertimbangkan ditengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan seperti sekarang ini.

Antonius Sumarno (2001:98), juga menuturkan bahwa kemunculan lembaga pendidikan non formal seperti lembaga pelatihan bahasa misalnya, sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan di era globalisasi. Setidaknya dengan penguasaan bahasa asing, individu akan dimudahkan dalam melakukan penyerapan berbagai ilmu pengetahuan yang saat ini hampir semua referensi terbarunya hanya tersedia dalam bahasa asing. Selanjutnya keunggulan tersebut dapat pula memperluas peluang individu dalam menangkap berbagai kesempatan. Hebatnya lagi, tersedia pula lembaga pendidikan non formal yang tidak hanya membekali lulusannya dengan ilmu, namun juga membekali sikap kemandirian yang mendorong terciptanya kesempatan untuk berwirausaha. Ini merupakan bukti nyata upaya memperkuat struktur riil perekonomian masyarakat yang belakangan makin terpuruk. Disaat banyak orang kebingungan mencari pekerjaan, banyak lulusan lembaga pendidikan non formal yang menciptakan lapangan pekerjaan. Namun dibalik semua keunggulan dan variasi lembaga pendidikan non formal yang tersedia, kejelian masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan non formal sebagai wahana untuk mengasah keterampilan dan menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan penting untuk dipertahankan. Indikator yang paling sederhana adalah seberapa besar kesesuian bidang pelatihan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal dengan minat maupun bidang yang saat ini kita geluti.





Tujuannya, tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari pelatihan lembaga pendidikan non formal dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi minat dan dunia yang kita geluti, serta meningkatkan keunggulan kompetitif yang kita miliki. Lebih lanjut, kejelian dalam memilih juga berfungsi pula agar investasi finansial yang telah ditanamkan tidak terbuang percuma karena program yang sedang dijalani "terhenti di tengah jalan".

            Pendidikan non formal diharapkan dapat mengatasi pelbagai problematika kehidupan. Seperti diungkapkan Buchari (1994 :27) : “Apa yang harus kita lakukan, agar kegiatan-kegiatan pendidikan non formal yang kita selenggarakan benar-benar membawa kemajuan yang berarti, yaitu kemajuan yang lebih besar daripada pembengkakan berbagai problematika yang di hadapi, dan tidak kalah pula pesatnya dibandingkan dengan laju kemajuan yang dicapai oleh negara-negara lain”. Pendidikan melalui lingkungan masyarakat atau pendidikan non formal memiliki berbagai nama, seperti adult education (pendidikan orang dewasa), continuing education (pendidikan lanjutan), on-the-job training (latihan kerja), accelerated training (latihan dipercepat), farmer or worker training (latihan pekerja atau petani), dan extension service (pelayanan pendidikan tambahan) dan dianggap sebagai sistem bayangan (shadow system).
Pelaksanaan pendidikan non formal dapat dilihat perbedaannya pada kasus negara industri dan negara berkembang.
Pada negara maju seperti di Eropa dan Amerika Utara pendidikan non formal dipandang sebagai pendidikan lanjutan bagi kehidupan seseorang. Pendidikan seumur hidup sangat berarti dalam memajukan dan mengubah masyarakat karena tiga alasan : (1) untuk memperoleh pekerjaan ; (2) menjaga ketersediaan tenaga kerja terlatih dengan teknologi dan pengetahuan baru yang diperlukan untuk melanjutkan produktivitas; (3) memperbaiki kualitas dan kenyamanan hidup individu melalui pengayaan kebudayaan dengan memanfaatkan waktu luang. Dalam perspektif ini, maka pendidikan lanjutan bagi guru memiliki arti strategis, jika gagal memberikan mereka pengetahuan yang mutakhir, maka mereka akan “memberikan pendidikan kemarin bagi generasi esok”.

            Pada negara yang sedang berkembang, pendidikan non formal berperan untuk mendidik begitu banyak petani, pekerja, usahawan kecil dan lainnya yang tidak sempat bersekolah dan mungkin tidak memiliki keterampilan maupun pengetahuan yang dapat diamalkan bagi dirinya sendiri maupun bagi pembangunan bangsanya. Peran lainnya adalah untuk meningkatkan kemampuan dari orang-orang yang memiliki kualifikasi seperti contohnya guru dan lainnya untuk bekerja di sektor swasta dan pemerintah, agar mereka bekerja lebih efektif. Di Tanzania non formal berperan untuk menyelamatkan investasi pendidikan dari mereka yang tamat sekolah maupun drop out dari sekolah menengah, namun tidak memperoleh pekerjaan, dengan memberikan kepada mereka pelatihan-pelatihan khusus (Coombs, 1968 : 143).  Di Indonesia pendidikan non fornal mencakup pendidikan orang dewasa yang bertujuan agar bangsa Indonesia kenal huruf; dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang dewasa; mempergunakan segala sumber penghidupan yang ada; berkembang secara dinamis dan kuat; serta tumbuh atas dasar kebudayaan nasional . Tujuan yang sudah digariskan pada peta pendidikan sejak 27 Desember 1945 oleh BPKNIP ini (Poerbakawatja dan Harahap, 1981:270) masih memiliki relevansi hingga kini apalagi dalam menghadapi menghadapi globalisasi.

Konsep awal dari Pendidikan Non Formal ini muncul sekitar akhir tahun 60-an hingga awal tahun 70-an. Philip Coombs dan Manzoor A., P.H. (1985) dalam bukunya The World Crisis In Education mengungkapkan pendidikan itu pada dasarnya dibagi menjadi tiga jenis, yakni Pendidikan Formal (PF), Pendidikan Non Formal (PNF) dan Pendidikan In Formal (PIF). Khusus untuk PNF, Coombs mengartikannya sebagai sebuah kegiatan yang diorganisasikan diluar system persekolahan yang mapan, apakah dilakukan secara terpisah atau bagian terpenting dari kegiatan yang lebih luas dilakukan secara sengaja untuk melayani anak didik tertentu untuk mencapai tujuan belajarnya.

Penjelasan yang sama terdapat pula di UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN), dimana disana dijelaskan bahwa pendidikan diselenggaran di dua jalur, yakni jalur sekolah (pendidikan formal) dan jalur luar sekolah (PNF dan PIF). Dalam perubahan UU tentang SPN yang diperbaharui menjadi UU Nomor 20 Tahun 2003, istilah jalur pendidikan sekolah dan pendidilan luar sekolah berubah menjadi system PF, PNF dan PIF. “Dalam UU ini dijelaskan bahwa PNF adalah jalur pendidikan diluar PF yang dapat dilaksanakan secata terstruktur dan berjenjang. Sedangkan PIF merupakan jalur pendidikan keluarga dan lingkungan,” terang Syukri (1997:34).

Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 26 ayat 1 dijelaskan bahwa Pendidikan Non Formal  diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/atau pelengkap PF dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Lebih lanjut dalam ayat 2 dijelaskan Pendidikan Non Formal  berfungsi mengembangkan potensi peserta didik (warga belajar) dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian professional. Sementara di ayat 3, disana disebutkan bahwa Pendidikan Non Formal  meliputi pendidikan kecakapan hidup (life skills); pendidikan anak usia dini; pendidikan kepemudaan; pendidikan pemberdayaan perempuan; pendidikan keaksaraan; pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja; pendidikan kesetaraan; serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.

Ditilik dari satuan pendidikannya, pelaksanaan Pendidikan Non Formal  terdiri dari kursus; lembaga pelatihan; kelompok belajar; Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM); majelis taklim; serta satuan pendidikan yang sejenis (pasal 26 ayat 4). Disamping itu, dalam pasal 26 ayat 5, disana dijelaskan bahwa kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hasil pendidikan keaksaraan dapat dihargai setara dengan hasil program PF setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemda dengan mengacu pada SPN (pasal 26 ayat 6).


B. Sasaran dan Karakteristik Pendidikan Non Formal. 
Sasaran Pendidikan Non Formal  dapat ditinjau dari beberapa segi, yakni pelayanan, sasaran khusus, pranata sistem pengajaran dan pelembagaan program. Ditilik dari segi pelayanan, sasaran Pendidikan Non Formal  adalah melayani anak usia sekolah (0-6 tahun), anak usia sekolah dasar (7-12 tahun), anak usia pendidikan menengah (13-18 tahun), anak usia perguruan tinggi (19-24 tahun). Ditinjau dari segi sasaran khusus, Pendidikan Non Formal  mendidik anak terlantar, anak yatim piatu, korban narkoba, perempuan penghibur, anak cacat mentau maupun cacat tubuh. Dari segi pranata, penyelenggaraan kegiatan pembelajaran dilakukan dilingkungan keluarga, pendidikan perluasan wawasan desa dan pendidikan keterampilan. Di segi layanan masyarakat, sasaran Pendidikan Non Formal  antara lain membantu masyarakat melalui program PKK, KB, perawatan bayi, peningkatan gizi keluarga, pengetahuan rumah tangga dan penjagaan lingkungan sehat. Dilihat dari segi pengajaran, sasaran Pendidikan Non Formal  sebagai penyelenggara dan pelaksana program kelompok, organisasi dan lembaga pendidikan, program kesenian tradisional ataupun kesenian modern lainnya yaitu menjadi fasilitator bahkan turut serta dalam program keagamaan, seperti mengisi pengajaran di majelis taklim, di pondok pesantren, dan bahkan di beberapa tempat kursus. Sedangkan sasaran Pendidikan Non Formal  ditinjau dari segi pelembagaan, yakni kemitraan atau bermitra dengan berbagai pihak penyelenggara program pemberdayaan masyarakat berkoordinasi dengan desa atau pelaksana program pembangunan.








Bagaimana dengan karakteristik Pendidikan Non Formal? Secara khusus Pendidikan Non Formal  memiliki spesifikasi yang ‘unik’ dibanding pendidikan sekolah, terutama dari berbagai aspek yang dicakupinya. Ini terlihat dari tujuan Pendidikan Non Formal , yakni memenuhi kebutuhan belajar tertentu yang fungsional bagi kehidupan masa kini dan masa depan, dimana dalam pelaksanananya tidak terlalu menekankan pada ijazah. Dalam waktu pelaksanannya, Pendidikan Non Formal  terbilang relatif singkat, menekankan pada kebutuhan di masa sekarang dan masa yang akan datang serta tidak penuh dalam menggunakan waktu alias tidak terus menerus.

Isi dari program Pendidikan Non Formal ini berpedolam pada kurikulum pusat pada kepentingan peserta didik (warga belajar), mengutamakan aplikasi dimana menekanannya terletak pada keterampilan yang bernilai guna bagi kehidupan peserta didik dan lingkungannya. Soal persyaratan masuk Pendidikan Non Formal, hal itu ditetapkan berdasarkan hasil kesepakatan bersama antara sesama peserta didik. Proses belajar mengajar dalam Pendidikan Non Formal  pun relative lebih fleksibel, artinya diselenggarakan di lingkungan masyarakat dan keluarga.


C. Peranan Keluarga dan Lingkungan
Bagi anak usia dini, orangtua merupakan guru yang terpenting dan rumah tangga merupakan lingkungan belajar utamanya. Harus diingat bahwa fungsi PAUD bukan sekedar untuk memberikan berbagai pengetahuan kepada anak melainkan yang tidak kalah pentingnya adalah untuk mengajak anak berpikir, bereksplorasi, bergaul, berekspresi, berimajinasi tentang berbagai hal yang dapat merangsang pertumbuhan sinaps baru dan memperkuat yang telah ada serta menyeimbangkan berfungsinya kedua belahan otak (Jalal, 2002: 15). Oleh karena itu lingkungan yang baik untuk PAUD adalah lingkungan yang mendukung anak melakukan kegiatan tersebut. Selama ini ada anggapan bahwa lingkungan yang baik adalah ruangan yang berdinding putih, bersih, dan tenang. Sebuah anggapan yang keliru karena ruangan tanpa rangsangan semacam itu justru menghambat perkembangan anak.
Memang benar bahwa faktor bawaan juga berpengaruh terhadap kecerdasan seseorang tetapi pengaruh lingkungan juga merupakan faktor yang tidak kalah pentingnya. Jika faktor bawaan dimisalkan sebagai dasar maka faktor lingkungan merupakan pengembangannya. Tanpa diperkaya oleh lingkungan, modal dasar tersebut tidak akan berkembang bahkan bisa jadi menyusut.
Jika orangtua karena satu dan lain hal tidak melaksanakan fungsinya sebagai pendidik, fungsi ini dapat dialihkan (sebagian) kepada pengasuh, lembaga pendidikan/penitipan anak, lingkungan atau siapa saja yang mampu berperan sebagai pengganti. Peran pengganti ini dapat dilakukan baik di lingkungan keluarganya (pengasuh) atau di luar lingkungan keluarga (KB, TPA & lembaga PAUD sejenis).
Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak adalah sangat penting. Pengaturan lingkungan yang membuat anak dapat bergerak bebas dan aman untuk bereksplorasi merupakan kondisi yang sangat baik bagi perkembangan anak, anak dapat meningkatkan daya imajinasi dan kreativitas serta diperolehnya pengalaman-pengalaman baru.



























BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sangat penting dan mendasar sebab merupakan hulu dalam pengembangan sumber daya manusia. Periode emas dalam tumbuh kembang anak hanya terjadi sekali dalam kehidupan manusia yang dimulai sejak lahir hingga usia delapan tahun. Penelitian di bidang neurologi mengungkapkan bahwa perkembangan kecerdasan anak 50% terjadi pada empat tahun pertama kemudian mencapai 80% hingga usia delapan tahun dan akhirnya 100% pada usia 18 tahun.

Anak-anak yang berada pada rentang usia dini yang memperoleh asupan pendidikan masih sangat minim. Anak usia 0 – 6 tahun berjumlah 26,09 juta akan tetapi yang terlayani dalam PAUD di jalur pendidikan formal (TK/RA) baru sekitar dua juta anak sehingga peran pendidikan non formal dalam membantu mengatasi masalah tersebut sangat penting dan mendesak.

Kurangnya anak usia dini yang mendapatkan layanan pendidikan disebabkan beberapa faktor diantaranya: (1) kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan pada anak usia dini; (2) masih terbatas dan tidak meratanya lembaga layanan PAUD yang ada di masyarakat terutama di pedesaan. Sebagai contoh pertumbuhan TK, KB/RA, dan TPA di perkotaan lebih pesat dibandingkan di pedesaan; (3) rendahnya dukungan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Terdapat 41.317 buah TK di seluruh Indonesia, hanya 225 buah (0.54%) TK yang didirikan oleh pemerintah, selebihnya dibangun oleh swasta.













B. Saran
Sangat diperlukan sekali kesadaran dan kepedulian dari berbagai kalangan baik dari pemerintah, pihak sekolah maupun para orang tua. Dimana kesemuanya ( pemerintah, pihak sekolah, orang tua ) sangat berpengaruh terhadap jumlah anak yang akan putus sekolah

































DAFTAR PUSTAKA

Abdulhak, Ishak. (2002). “Memposisikan Pendidikan Anak Dini Usia Dalam Sistem Pendidikan Nasional”. Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 54 – 59.
Anwar dan Ahmad, Arsyad. 2007. Pendidikan Anak Dini Usia. Bandung: Alfabeta.
Asfandiyar, Andi Yudha. 2009. Kenapa Guru Harus Kreatif?. Jakarta: Mizan Media Utama.
CHA, Wahyudi dan Damayanti, Dwi Retna. 2005. Program Pendidikan Untuk Anak Usia Dini di Prasekolah Islam. Jakarta: Grasindo.
Depdikbud. (1998). Petunjuk Kegiatan Belajar Mengajar Taman Kanak-kanak. Jakarta: Depdikbud.
Depdiknas. (2002). Sambutan Pengarahan Direktur Jenderal PLSP pada Lokakarya Pengembangan Program PADU, Jakarta.
Depdiknas. (2003). Bahan Sosialisasi Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.
Direktorat Tenaga Teknis. (2003). Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia 0 – 6 Tahun. Jakarta: Ditjen PLSP – Depdiknas.
Direktorat PADU. (2001). Informasi Tentang Pendidikan Anak Dini Usia Pendidikan Prasekolah Pada Jalur Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: Direktorat PADU -Ditjen PLSP – Depdiknas.
Direktorat PADU. (2002). Acuan Menu Pembelajaran pada Pendidikan Anak Dini Usia (Menu Pembelajaran Generik). Jakarta: Direktorat PADU - Ditjen PLSP – Depdiknas.
Direktorat PADU. (2003). Model PADU Terintegrasi Posyandu. Jakarta: Direktorat PADU - Ditjen PLSP – Depdiknas.
Gutama. (2003). “Kebijakan Direktorat Pendidikan Anak Dini Usia (PADU)”. Makalah pada Pelatihan Penyelenggara Program PADU, Bandung.
Hadis, Fawzia Aswin. (2002). “Strategi Sosialisasi Dalam Memberdayakan Masyarakat”. Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 25 – 28.
Indrawati, Maya dan Nugroho, Wido. 2006. Mendidik dan Membesarkan Anak Usia Pra-Sekolah. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
Isjoni. 2007. Saatnya Pendidikan Kita Bangkit. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jalal, Fasli. (2002). “Meningkatkan Kesadaran Masyarakat Akan Pentingnya PADU”. Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 9 – 18.
Rosadi, Damanhuri. (2002). “Pendidikan Anak Dini Usia Dalam Kerangka Otonomi Daerah". Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 60 – 72.
Sudjana, D. (2001). Pendidikan Luar Sekolah. Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falasafah, Teori Pendukung, Asas. Bandung: Penerbit Falah Production.

PERANAN PNF



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu: Tujuan Utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa, Tujuan Penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.
B. Rumusan Masalah
a.       Peranan Pendidikan Non Formal
b.      Asas Pendidikan Sepanjang Hidup
c.       Pendidikan PAUD
d.      Peranan Pendidikan Luar Sekolah
e.       Peranan Pemberdayaan Masyarakat
f.       Peranan Keluarga Dan Lingkungan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Peranan Pendidikan Non Formal
Pendidikan nasional, sebagai salah satu sistem dari supra sistem pembangunan nasional, memiliki tiga subsistem pendidikan sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 yaitu pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal. Pendidikan formal disebut juga pendidikan sekolah sedangkan pendidikan nonformal dan informal tercakup ke dalam pendidikan luar sekolah.
Menurut pengertian Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 1 ayat 12 “Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang” sedangkan ayat 13 menyatakan “Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan”.
Coombs (Trisnamansyah, 2003: 19) mendefinisikan nonformal education sebagai setiap kegiatan pendidikan yang diorganisasikan di luar sistem persekolahan yang mapan baik dilakukan secara terpisah atau sebagai bagian penting dari kegiatan yang lebih besar, dilakukan secara sengaja untuk melayani peserta didik tertentu guna mencapai tujuan belajarnya.
Sudjana (2001: 63) pendidikan luar sekolah telah hadir di dunia ini sama tuanya dengan kehadiran manusia yang berinteraksi dengan lingkungan di muka bumi ini dimana situasi pendidikan ini muncul dalam kehidupan kelompok dan masyarakat. Kegiatan pendidikan dalam kelompok dan masyarakat telah dilakukan oleh umat manusia jauh sebelum pendidikan sekolah lahir di dalam kehidupan masyarakat. Pada waktu permulaan kehadirannya, pendidikan luar sekolah dipengaruhi oleh pendidikan informal, yaitu kegiatan yang terutama berlangsung dalam keluarga dimana terjadi interaksi di dalamnya berupa transmisi pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai, dan kebiasaan. Pada dasarnya kegiatan tersebut menjadi akar untuk tumbuhnya perbuatan mendidik yang dikenal dewasa ini.

Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok-kelompok yang terdiri dari keluarga-keluarga mengadopsi pola transmisi tersebut ke dalam kehidupan kelompok seperti keterampilan bercocok tanam. Kegiatan belajar-membelajarkan tersebut yang dilakukan untuk melestarikan dan mewariskan kebudayaan secara turun temurun itulah yang termasuk ke dalam kategori pendidikan tradisional yang kemudian menjadi akar pertumbuhan pendidikan luar sekolah.
Sejak awal kehadirannya di dunia ini, pendidikan luar sekolah telah berakar pada tradisi dan adat istiadat yang dianut oleh masyarakat yang mendorong penduduk untuk belajar, berusaha, dan bekerjasama atas dasar nilai-nilai budaya dan moral yang dianut oleh masyarakat tersebut. Hal ini biasanya terdapat dalam pepatah dan nasehat para orang tua yang intinya mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan belajar, berusaha, dan bekerjasama dalam masyarakat.

B. Asas Pendidikan Sepanjang Hidup
Pendidikan luar sekolah didasari oleh empat asas yaitu asas kebutuhan, asas pendidikan sepanjang hayat, asas relevansi dengan pembangunan masyarakat, dan asas wawasan ke masa depan. Dalam hal ini perhatian lebih ditujukan pada asas pendidikan sepanjang hayat yang relevan dengan topik yang sedang dibahas. Hawes, (Trisnamansyah, 2003: 7) mengemukakan dua puluh karakteristik pendidikan sepanjang hayat, antara lain:

1. Pendidikan sepanjang hayat tidak hanya terbatas pada pendidikan orang dewasa tapi juga meliputi serta menyatukan semua tingkat pendidikan prasekolah, SD, SLTP dan seterusnya. Ini merupakan pandangan pendidikan secara menyeluruh.
Berdasarkan karakteristik di atas maka pendidikan prasekolah telah diakui sebagai bagian dari pendidikan sepanjang hayat. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Worth, W.H. (Cropley, 1999: 43) yang mengemukakan bahwa pendidikan tidak boleh menolak anak di bawah umur enam tahun dan menganjurkan pendidikan anak-anak awal yang disebutnya “Early Ed. Tiga tujuan pokok “Early Ed”, yang meliputi perlengkapan stimulasi, membantu pemahaman identitas, dan menciptakan pengalaman sosialisasi yang tepat. Aspek terpenting anjuran Worth ialah pendidikan anak usia dini sebagai fase pertama sistem pendidikan seumur hidup. Ia menyarankan bahwa tujuannya harus memuat pengembangan keterampilan untuk mendayagunakan informasi dan simbol-simbol, meningkatkan apresiasi bermacam-macam mode ekspresi diri, memelihara keinginan dan kemampuan berpikir, menanamkan keyakinan setiap anak tentang kemampuannya untuk belajar, membantu perasaan harga diri, dan akhirnya, meningkatkan kemampuan untuk hidup dengan orang lain. Worth melihat pendidikan anak usia dini meliputi variable yang kompleks dalam bidang kognitif, motivasi dan sosio affektif yang jika berkembang dengan tepat akan menjadi basis pemenuhan diri dalam kehidupan. Dengan demikian Worth mengakui pentingnya pendidikan anak-anak usia prasekolah sebagai salah satu fase pendidikan seumur hidup.

2. Rumah memegang peranan pertama, tajam dan penting dalam memulai proses belajar sepanjang hayat yang terus berlanjut sepanjang kehidupan individu melalui proses belajar keluarga. Dalam keluargalah anak pertama kali mendapatkan pengalaman belajarnya dimana diketahui bersama bahwa keluarga merupakan tempat belajar di luar sekolah. Di dalam kehidupan keluarga ini terjadi interaksi, di dalamnya berupa transmisi pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai, dan kebiasaan. Pada dasarnya kegiatan tersebut menjadi akar untuk tumbuhnya perbuatan mendidik yang dikenal dewasa ini (Sudjana, 2001: 63).

3. Pendidikan Luar Sekolah Dalam Optimalisasi Tumbuh Kembang Anak
Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 28 menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal (Taman Kanak-kanak, Raudatul Athfal, atau bentuk lain yang sederajat), jalur pendidikan nonformal (Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak, atau bentuk lain yang sederajat), dan/atau jalur pendidikan informal yang berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

Oleh karena itu sudah sewajarnya bila peran Pendidikan Luar Sekolah yang mencakup pendidikan nonformal dan informal dalam memberikan pelayanan pendidikan dini kepada anak-anak yang tak memperoleh pendidikan di jalur pendidikan formal.

C. Pendidikan Anak Usia Dini
Anak usia dini sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 1 ayat 14 menyatakan bahwa: “Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut”. Batasan lain mengenai usia dini pada anak berdasarkan psikologi perkembangan yaitu antara usia 0–8 tahun.
Di samping istilah pendidikan anak usia dini terdapat pula terminologi pengembangan anak usia dini yaitu upaya yang dilakukan oleh masyarakat dan atau pemerintah untuk membantu anak usia dini dalam mengembangkan potensinya secara holistik baik aspek pendidikan, gizi maupun kesehatan (Direktorat PADU, 2002:3).
Pertumbuhan sering dikaitkan dengan kata perkembangan sehingga ada istilah tumbuh kembang. Ada pendapat yang mengatakan bahwa pertumbuhan merupakan bagian dari perkembangan. Namun sebenarnya pertumbuhan dan perkembangan adalah dua hal yang berbeda. Pertumbuhan adalah perubahan ukuran dan bentuk tubuh atau anggota tubuh, misalnya bertambah berat badan, bertambah tinggi badan, bertambah lingkaran kepala, bertambah lingkar lengan, tumbuh gigi susu, dan perubahan tubuh yang lainnya yang biasa disebut pertumbuhan fisik. Pertumbuhan dapat dengan mudah diamati melalui penimbangan berat badan atau pengukuran tinggi badan anak. Pemantauan pertumbuhan anak dilakukan secara terus menerus dan teratur.
Adapun perkembangan adalah perubahan mental yang berlangsung secara bertahap dan dalam waktu tertentu, dari kemampuan yang sederhana menjadi kemampuan yang lebih sulit, misalnya kecerdasan, sikap, tingkah laku, dan sebagainya. Proses perubahan mental ini juga melalui tahap pematangan terlebih dahulu. Bila saat kematangan belum tiba maka anak sebaiknya tidak dipaksa untuk meningkat ke tahap berikutnya misalnya kemampuan duduk atau berdiri.
Pertumbuhan dan perkembangan masing-masing anak berbeda, ada yang cepat dan ada yang lambat, tergantung faktor bakat (genetik), lingkungan (gizi dan cara perawatan kesehatan), dan konvergensi (perpaduan antara bakat dan lingkungan). Oleh sebab itu perlakuan terhadap anak tidak dapat disamaratakan, sebaiknya dengan mempertimbangkan tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak (Diktentis Diklusepa, 2003:8).
Pada saat anak dilahirkan ia sudah dibekali tuhan dengan struktur otak yang lengkap, namun baru mencapai kematangannya pada saat setelah di luar kandungan. Bayi yang baru dilahirkan memiliki 100 miliar neuron dan bertriliun-triliun sambungan antar neuron. Melalui persaingan alami akhirnya sambungan-sambungan yang tidak atau jarang digunakan akan mengalami atrofi. Pemantapan sambungan terjadi apabila neuron mendapatkan informasi yang mampu menghasilkan letupan-letupan listrik. Letupan tersebut merangsang bertambahnya produksi myelin yang dihasilkan oleh zat perekat glial. Semakin banyaknya zat myelin yang diproduksi maka semakin banyak dendrit-dendrit yang tumbuh, sehingga akan semakin banyak synapse yang berarti lebih banyak neuron-neuron yang menyatu membentuk unit-unit. Kualitas kemampuan otak dalam menyerap dan mengolah informasi tergantung dari banyaknya neuron yang membentuk unit-unit. Otak manusia bersifat hologram yang dapat mencatat, menyerap, menyimpan, mereproduksi dan merekonstruksi informasi.
Kemampuan otak yang dipengaruhi oleh kegiatan neuron ini tidak bersifat spontan, tetapi dipengaruhi oleh mutu dan frekuensi stimulasi yang diterima indra. Stimulasi pada tahun-tahun pertama kehidupan anak sangat mempengaruhi struktur fisik otak anak, dan hal tersebut sulit diperbaiki pada masa-masa kehidupan selanjutnya. Implikasinya adalah bahwa anak yang tidak mendapatkan stimulasi psikososial seperti jarang disentuh atau jarang diajak bermain akan mengalami berbagai penyimpangan perilaku. Penyimpangan tersebut dalam bentuk hilangnya citra diri yang berakibat pada rendah diri, sangat penakut, dan tidak mandiri, atau sebaliknya menjadi anak yang tidak memiliki rasa malu dan terlalu agresif.
Stimulasi psikososial untuk merangsang pertumbuhan anak tidak akan memberikan arti bagi masa depan anak jika derajat kesehatan dan gizi anak tidak menguntungkan. Pertumbuhan otak anak ditentukan oleh bagaimana cara pengasuhan dan pemberian makan serta stimulasi anak pada usia dini yang sering disebut critical period ini. Gizi yang tidak seimbang maupun gizi buruk serta derajat kesehatan anak yang rendah akan menghambat pertumbuhan otak, dan pada gilirannya akan menurunkan kemampuan otak dalam mencatat, menyerap, mereproduksi dan merekonstruksi informasi. Di samping itu, rendahnya derajat kesehatan dan gizi anak akan menghambat pertumbuhan fisik dan motorik anak yang juga berlangsung sangat cepat pada tahun-tahun pertama kehidupan anak. Gangguan yang terjadi pada pertumbuhan fisik dan motorik anak, sulit diperbaiki pada periode berikutnya, bahkan dapat mengakibatkan cacat yang permanen (Dirjen Diklusepa, Depdiknas: 2002).
Konsep di atas menuntut adanya pengintegrasian aspek psiko-sosial/pendidikan, gizi dan kesehatan dalam proses tumbuh kembang anak atau dengan kata lain anak mendapatkan layanan dasar secara holistik.
Dalam perkembangan anak, pada saat-saat tertentu dapat terjadi kemandegan tugas-tugas perkembangan (discontinuity), misalnya karena sakit, namun setelah masa ini berlalu ada tugas perkembangan yang bisa dikejar dan ada pula yang tidak bisa dikejar sama sekali.

D. Peranan Pendidikan Luar Sekolah
Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan bahwa dari jumlah 26,09 juta anak usia 0-6 tahun, sebagian besar (sekitar 17, 99 juta anak atau 68,9%) belum terlayani dalam pendidikan prasekolah. Taman Kanak-kanak dan Raudhatul Athfal hanya mampu melayani sekitar 2 (dua) juta anak dari 12,6 juta anak usia 4-6 tahun yang ada.

Berkenaan dengan hal tersebut di atas maka sewajarnya bila peran Pendidikan Luar Sekolah yang mencakup pendidikan nonformal dan informal – dalam memberikan pelayanan pendidikan dini pada anak-anak yang tak memperoleh pendidikan di jalur pendidikan formal sangatlah penting dan mendesak. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang diselenggarakan pendidikan luar sekolah berupa kelompok bermain, taman penitipan anak, dan satuan pendidikan anak usia dini yang sejenis.
Kelompok bermain adalah salah satu bentuk layanan PAUD bagi anak usia tiga – enam tahun, yang berfungsi untuk meletakkan dasar-dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan bagi anak usia dini dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya, sehingga siap memasuki pendidikan dasar.
Taman Penitipan Anak adalah wahana pendidikan dan pembinaan kesejahteraan anak yang berfungsi sebagai pengganti keluarga untuk jangka waktu tertentu selama orangtuanya berhalangan atau tidak memiliki waktu yang cukup dalam menagsuh anaknya karena bekerja atau sebab lain.
Satuan PAUD sejenis merupakan bentuk-bentuk layanan PAUD lainnya yang tidak diselenggarakan dalam bentuk taman penitipan anak ataupun kelompok bermain. Satuan PAUD sejenis dapat berbentuk: PAUD dalam keluarga dan berbagai layanan pendidikan lainnya, baik yang bersifat khusus maupun umum yang diselenggarakan bagi anak usia dini.
PAUD Terintegrasi Posyandu atau Pospadu adalah pengembangan dari satuan PAUD sejenis, yang merupakan upaya pendidikan bagi anak usia dini yang dilaksanakan dengan mengintegrasikan pendidikan dengan program posyandu, sehingga anak memperoleh layanan dasar secara holistik/menyeluruh yang mencakup layanan gizi, kesehatan, dan pendidikan.

E. Peranan dan Pemberdayaan Masyarakat
Kenyataan bahwa masih banyak anak usia dini yang belum mendapatkan pelayanan pendidikan tak dapat dipungkiri, terlebih bagi masyarakat kelas bawah yang merupakan sebagian besar penduduk Indonesia yang berada di pedesaan. Hal itu disebabkan antara lain kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak usia dini masih sangat rendah.
Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi dan kesehatan untuk peningkatan kualitas anak, nampaknya jauh lebih baik daripada kesadaran akan pentingnya pendidikan. Hasil penelitian Meneg Pemberdayaan Perempuan tahun 2001 di wilayah Jakarta dan sekitarnya seperti yang dilansir oleh Yayasan Kita dan Buah Hati (Jalal, 2002: 13) menyebutkan bahwa pada umumnya masyarakat memandang belum perlu pendidikan diberikan kepada anak usia dini. Hal ini sangat wajar mengingat bahwa pemahaman masyarakat terhadap pentingnya PAUD masih sangat rendah serta pada umumnya mereka berpandangan bahwa pendidikan identik dengan sekolah, sehingga bagi anak usia dini pendidikan dipandang belum perlu.
Lebih jauh Hadis (2002: 25) mengemukakan ada beberapa faktor yang menjadikan penyebab masih rendahnya kesadaran masyarakat di bidang pendidikan anak usia dini seperti: ketidaktahuan, kemiskinan, kurang berpendidikan, gagasan orangtua tentang perkembangan anak yang masih sangat tradisional, kurang mau berubah, masih sangat konkret dalam berpikir, motivasi yang rendah karena kebutuhan yang masih sangat mendasar (untuk survival), serta masih sangat dipengaruhi oleh budaya setempat yang sempit.
Rendahnya tingkat partisipasi anak mengikuti pendidikan prasekolah dapat juga dipengaruhi oleh beberapa hal lainnya seperti: (1) Masih terbatas dan tidak meratanya lembaga layanan PAUD yang ada di masyarakat terutama di pedesaan. Sebagai contoh pertumbuhan TK, KB/RA, dan TPA di perkotaan lebih pesat dibandingkan di pedesaan; (2) Rendahnya dukungan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Fakta menunjukkan (Rosadi, 2002) dari 41.317 buah TK di seluruh Indonesia, 41.092 buah (99.46%) didirikan oleh pihak swasta sedangkan pemerintah hanya mendirikan 225 buah (0.54%). Jumlah TK tersebut tidaklah berimbang dengan jumlah anak yang seharusnya mengikuti pendidikan dini.

Memang berhasilnya PAUD merupakan tanggung jawab pemerintah bersama masyarakat terutama keluarga yang merupakan penanggungjawab utama dalam optimalisasi tumbuh kembang anak. Peran pemerintah adalah memfasilitasi masyarakat agar mereka dapat mengoptimalkan tumbuh kembang anak.
Upaya pemerintah untuk memfasilitasi masyarakat antara lain melalui standarisasi kurikulum guna membantu masyarakat mengontrol penyelenggaraan pendidikan agar tidak merugikan peserta didik maupun masyarakat, peningkatan kemampuan profesi dan akademik bagi tenaga kependidikan, peningkatan fungsi keluarga sebagai basis pendidikan anak, serta pengembangan manajemen pembelajaran yang mencakup pengembangan metodologi pembelajaran, pengembangan sarana dan bahan belajar termasuk bacaan anak, pengembangan permainan dan alat permainan serta pengembangan evaluasi tumbuh kembang anak.
Dalam rangka memberikan perhatian secara khusus terhadap anak usia dini yang tidak terlayani pada lembaga formal (TK/RA) maka dibentuklah Direktorat PADU di lingkungan Depdiknas. Kehadiran direktorat ini terutama untuk memberikan layanan, bimbingan dan atau bantuan teknis edukatif yang tepat terhadap semua layanan anak usia dini (di luar TK dan RA) yang ada di masyarakat.
Masyarakat itu sendiri juga perlu meningkatkan peran sertanya secara aktif dalam pelaksanaan, pembinaan, dan pelembagaan pembinaan anak. Untuk itu pemerintah perlu memberdayakan peranserta masyarakat sebagai upaya menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan masyarakat, dengan cara mengembangkan segala potensi yang dimiliki agar masyarakat memiliki kemampuan sendiri dalam menentukan pilihan dan mengambil keputusan. Dalam kondisi seperti ini, sinergi antara pemerintah dengan masyarakat sangat diperlukan. Perlu pula diingat bahwa kebanyakan program PAUD masih berjalan sendiri-sendiri, tidak ada sinergi antar program yang ada di masyarakat.
Sinergi berbagai unsur yang berkepentingan dalam pembinaan anak merupakan kunci keberhasilan upaya pembinaan anak. Pemerintah harus memperluas jaringan kemitraan. Jaringan kemitraan merupakan kunci efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan program pendidikan, dimana selama ini tumpang tindih program termasuk pembinaannya, merupakan kesalahan sebagai akibat tidak berjalannya jaringan kemitraan termasuk koordinasi sebagai salah satu komponennya. Di samping itu adanya jaringan kemitraan yang luas di setiap tingkatan institusi masyarakat, mulai dari pusat sampai grass-root, merupakan jawaban atas keberlangsungan suatu program di masyarakat.
Program yang mempunyai jaringan kemitraan memiliki ciri-ciri antara lain tingginya komitmen semua unsur yang terlibat dan tingginya rasa memiliki masyarakat terhadap program yang ada. Kedua ciri ini merupakan komponen terpenting untuk menjamin keberlangsungan suatu program yang pada gilirannya mengarah pada pelembagaan program di masyarakat. Perluasan jaringan kemitraan agar efektif hendaknya diarahkan pada penciptaan situasi kondusif yang menumbuh kembangkan komitmen semua unsur dan kepemilikan oleh masyarakat terhadap suatu program.

F. Peranan Keluarga dan Lingkungan
Bagi anak usia dini, orangtua merupakan guru yang terpenting dan rumah tangga merupakan lingkungan belajar utamanya. Harus diingat bahwa fungsi PAUD bukan sekedar untuk memberikan berbagai pengetahuan kepada anak melainkan yang tidak kalah pentingnya adalah untuk mengajak anak berpikir, bereksplorasi, bergaul, berekspresi, berimajinasi tentang berbagai hal yang dapat merangsang pertumbuhan sinaps baru dan memperkuat yang telah ada serta menyeimbangkan berfungsinya kedua belahan otak (Jalal, 2002: 15). Oleh karena itu lingkungan yang baik untuk PAUD adalah lingkungan yang mendukung anak melakukan kegiatan tersebut. Selama ini ada anggapan bahwa lingkungan yang baik adalah ruangan yang berdinding putih, bersih, dan tenang. Sebuah anggapan yang keliru karena ruangan tanpa rangsangan semacam itu justru menghambat perkembangan anak.
Memang benar bahwa faktor bawaan juga berpengaruh terhadap kecerdasan seseorang tetapi pengaruh lingkungan juga merupakan faktor yang tidak kalah pentingnya. Jika faktor bawaan dimisalkan sebagai dasar maka faktor lingkungan merupakan pengembangannya. Tanpa diperkaya oleh lingkungan, modal dasar tersebut tidak akan berkembang bahkan bisa jadi menyusut.
Jika orangtua karena satu dan lain hal tidak melaksanakan fungsinya sebagai pendidik, fungsi ini dapat dialihkan (sebagian) kepada pengasuh, lembaga pendidikan/penitipan anak, lingkungan atau siapa saja yang mampu berperan sebagai pengganti. Peran pengganti ini dapat dilakukan baik di lingkungan keluarganya (pengasuh) atau di luar lingkungan keluarga (KB, TPA & lembaga PAUD sejenis).
Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak adalah sangat penting. Pengaturan lingkungan yang membuat anak dapat bergerak bebas dan aman untuk bereksplorasi merupakan kondisi yang sangat baik bagi perkembangan anak, anak dapat meningkatkan daya imajinasi dan kreativitas serta diperolehnya pengalaman-pengalaman baru.



BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sangat penting dan mendasar sebab merupakan hulu dalam pengembangan sumber daya manusia. Periode emas (Golden Period) dalam tumbuh kembang anak hanya terjadi sekali dalam kehidupan manusia yang dimulai sejak lahir hingga usia delapan tahun. Penelitian di bidang neurologi mengungkapkan bahwa perkembangan kecerdasan anak 50% terjadi pada empat tahun pertama kemudian mencapai 80% hingga usia delapan tahun dan akhirnya 100% pada usia 18 tahun.
Anak-anak yang berada pada rentang usia dini yang memperoleh asupan pendidikan masih sangat minim. Anak usia 0–6 tahun berjumlah 26,09 juta akan tetapi yang terlayani dalam PAUD di jalur pendidikan formal (TK/RA) baru sekitar dua juta anak sehingga peran pendidikan luar sekolah dalam membantu mengatasi masalah tersebut sangat penting dan mendesak.
Kurangnya anak usia dini yang mendapatkan layanan pendidikan disebabkan beberapa faktor diantaranya: (1) kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan pada anak usia dini; (2) masih terbatas dan tidak meratanya lembaga layanan PAUD yang ada di masyarakat terutama di pedesaan. Sebagai contoh pertumbuhan TK, KB/RA, dan TPA di perkotaan lebih pesat dibandingkan di pedesaan; (3) rendahnya dukungan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Terdapat 41.317 buah TK di seluruh Indonesia, hanya 225 buah (0.54%) TK yang didirikan oleh pemerintah, selebihnya dibangun oleh swasta.





B. Saran
Sangat diperlukan sekali kesadaran dan kepedulian dari berbagai kalangan baik dari pemerintah, pihak sekolah maupun para orang tua. Dimana kesemuanya ( pemerintah, pihak sekolah, orang tua ) sangat berpengaruh terhadap jumlah anak yang akan putus sekolah


















DAFTAR PUSTAKA

Abdulhak, Ishak. (2002). “Memposisikan Pendidikan Anak Dini Usia Dalam Sistem Pendidikan Nasional”. Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 54–59. Cropley. (……). Pendidikan Seumur Hidup Suatu Analisis Psikologi. Surabaya: Usaha Nasional. Depdikbud. (1998). Petunjuk Kegiatan Belajar Mengajar Taman Kanak-kanak. Jakarta: Depdikbud. Depdiknas. (2002). Sambutan Pengarahan Direktur Jenderal PLSP pada Lokakarya Pengembangan Program PADU, Jakarta. Depdiknas. (2003). Bahan Sosialisasi Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas. Direktorat Tenaga Teknis. (2003). Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia 0–6 Tahun. Jakarta: Ditjen PLSP–Depdiknas. Direktorat PADU. (2001). Informasi Tentang Pendidikan Anak Dini Usia Pendidikan Prasekolah Pada Jalur Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: Direktorat PADU -Ditjen PLSP–Depdiknas. Direktorat PADU. (2002). Acuan Menu Pembelajaran pada Pendidikan Anak Dini Usia (Menu Pembelajaran Generik). Jakarta: Direktorat PADU-Ditjen PLSP–Depdiknas. Direktorat PADU. (2003). Model PADU Terintegrasi Posyandu. Jakarta: Direktorat PADU-Ditjen PLSP–Depdiknas. Gutama. (2003). “Kebijakan Direktorat Pendidikan Anak Dini Usia (PADU)”. Makalah pada Pelatihan Penyelenggara Program PADU, Bandung. Hadis, Fawzia Aswin. (2002). “Strategi Sosialisasi Dalam Memberdayakan Masyarakat”. Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. Jalal, Fasli. (2002). “Meningkatkan Kesadaran Masyarakat Akan Pentingnya PADU”. Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. Rosadi, Damanhuri. (2002). “Pendidikan Anak Dini Usia Dalam Kerangka Otonomi Daerah”. Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. Sudjana, D. (2001). Pendidikan Luar Sekolah. Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falasafah, Teori Pendukung, Asas. Bandung: Penerbit Falah Production. Supriadi, Dedi. (2002). “Memetakan Kembali Pendekatan Pembelajaran Pendidikan Anak Dini Usia”. Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. Trisnamansyah, Sutaryat. (2003). “Materi Pokok Perkuliahan Filsafat, Teori, dan Konsep Dasar PLS”. Bandung: Makalah tidak diterbitkan.\ http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_anak_usia_dini notes: telah terbit di Jurnal Pelangi Ilmu