BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bagi
suatu negara, pendidikan merupakan realisasi kebijaksanaan untuk meningkatkan
taraf kesejahteraan yang dicita-citakan. Pendidikan merupakan komponen pokok
dalam pembinaan landasan pengembangan sosial budaya. Pendidikan juga sekaligus
penegak kemanusiaan yang berperadaban tinggi. Pendidikan tidak bisa lepas dari
kehidupan sosial. Artinya, pendidikan untuk kesejahteraan manusia dunia-akhirat
sehingga perlu diaplikasikan (QS. 28:77) sebab pendidikan memiliki nilai
teologis dan sosiologis sekaligus.
Karenanya,
proses belajar mengajar merupakan kebutuhan penting hidup manusia. Hal ini
harus dirasakan bersama oleh setiap individu laki-laki dan perempuan tanpa
pandang bulu. Karena sama-sama memiliki kemampuan untuk belajar. Semakin lama,
setiap aspek kehidupan manusia berkembang, kebutuhannya pun kian beragam. Oleh
karena itu, laki-laki dan perempuan harus saling membantu, bekerja sama meniti
jalan dan mengatasi masalah kehidupan yang mereka hadapi.
B.
Rumusan Masalah
a.
Apakah pengertian gender?
b.
Bagaimana bias gender dalam pendidikan?
c.
Bagaimana kesetaraan gender dalam
pendidikan?
d.
Bagaimanakah upaya penanggulangan dampak
negatif dari bias gender pendidikan dalam islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Gender
Hal
penting yang perlu dilakukan dalam kajian gender adalah memahami perbedaan
konsep gender dan seks (jenis kelamin). Kesalahan dalam memahami makna gender
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sikap menentang atau sulit bisa
menerima analisis gender dalam memcahkan masalah ketidakadilan sosial.
Seks
adalah perbedaan laki-laki dan perempuan yang berdasar atas anatomi biologis
dan merupakan kodrat Tuhan . Menurut Mansour Faqih, sex berarti jenis kelamin
yang merupakan penyifatan atau pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara
biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Perbedaan anatomi biologis
ini tidak dapat diubah dan bersifat menetap, kodrat dan tidak dapat ditukar.
Oleh karena itu perbedaan tersebut berlaku sepanjang zaman dan dimana saja .
Sedangkan
gender, secara etimologis gender berasal dari kata gender yang berarti jenis
kelamin . Tetapi Gender merupakan
perbedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan oleh perbedaan biologis dan bukan
kodrat Tuhan, melainkan diciptakan baik oleh laki-laki maupun perempuan melalui
proses sosial budaya yang panjang. Perbedaan perilaku antara pria dan wanita,
selain disebabkan oleh faktor biologis sebagian besar justru terbnetuk melalu
proses sosial dan cultural. Oleh karena itu gender dapat berubah dari tempat
ketempat, waktu ke waktu, bahkan antar kelas sosial ekonomi masyarakat .
Dalam
batas perbedaan yang paling sederhana, seks dipandang sebagai status yang
melekat atau bawaan sedangkan gender sebagai status yang diterima atau
diperoleh.
Mufidah
dalam Paradigma Gender mengungkapkan
bahwa pembentukan gender ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk,
kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi melalui sosial atau
kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos-mitos seolah-olah
telah menjadi kodrat laki-laki dan perempuan.
Gender
merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi setara antara
laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih
egaliter. Jadi, gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam
melakukan measure (pengukuran) terhadap persoalan laki-laki dan perempuan
terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang dikonstruksi
oleh masyarakat itu sendiri. Gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan
semata, tetapi juga kepada laki-laki.. Hanya saja, yang dianggap mengalami
posisi termarginalkan sekarang adalah pihak perempuan, maka perempuanlah yang
lebih ditonjolkan dalam pembahasan untuk mengejar kesetaraan gender yang telah
diraih oleh laki-laki beberapa tingkat dalam peran sosial, terutama di bidang
pendidikan karena bidang inilah diharapkan dapat mendorong perubahan kerangka
berpikir, bertindak, dan berperan dalam berbagai segmen kehidupan sosial.
B.
Bias Gender Dalam Pendidikan
Yang
dimaksud bias gender adalah mengunggulkan salah satu jenis kelamin dalam
kehidupan sosial atau kebijakan publik. Bias gender dalam pendidikan adalah
realitas pendidikan yang mengunggulkan satu jenis kelamin tertentu sehingga
menyebabkan ketimpangan gender.
Berbagai
bentuk kesenjangan gender yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan
masyarakat, terpresentasi juga dalam dunia pendidikan. Bahkan proses dan
institusi pendidikan dipandang berperan besar dalam mensosialisasikan dan
melestrikan nilai-nilai dan cara pandang yang mendasari munculnya berbagai
ketimpangan gender dalam masyarakat. Secara garis besar, fenomena kesenjangan
gender dalam pendidikan dapat diklasifikasi dalam beberapa dimensi, antara
lain:
1.
Kurangnya partisipasi (under-participation). Dalam hal partisipasi
pendidikan,perempuan di seluruh dunia menghadapi problem yang sama. Dibanding
lawan jenisnya, partisipasi perempuan dalam pendidikan formal jauh lebih rendah
Dinegara-negara dunia ketiga di mana pendidikan dasar belum diwajibkan, jumlah
murid perempuan umumnya hanya separuh atau sepertiga jumlah murid laki-laki
2.
Kurangnya keterwakilan (under-representation). Partisipasi perempuan dalam
pendidikan sebagai tenaga pengajar maupun pimpinan juga menunjukkan kecenderung
disparitas progresif. Jumlah guru perempuan pada jenjang pendidikan dasar
umumnya sama atau melebihi jumlah guru laki-laki. Namun, pada jenjang
pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi, jumlah tersebut menunjukkan
penurunan drastis.
3.
Perlakuan yang tidak adil (unfair treatment) Kegiatan pembelajaran dan proses
interaksi dalam kelas seringkali bersifat merugikan murid perempuan. Guru
secara tidak sadar cenderung menaruh harapan dan perhatian yang lebih besar
kepada murid laki-laki dibanding murid perempuan. Para guru kadangkala cenderung
berpikir ke arah "self fulfilling
prophecy" terhadap siswa perempuan karena menganggap perempuan
tidak perlu memperoleh pendidikan yang tinggi.
Menurut
Philip Robinson, ketimpangan dalam pendidikan dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu ketimpangan pada akses terhadap pendidikan dan ketimpangan pada hasil
atau outcome pendidikan.
Akses
perempuan ke sekolah lanjutan atas dan perguruan tinggi masih terbatas. Di
Indonesia dalam penelitian yang dilakukan oleh Ace Suryadi, berdasarkan angka
statistik kesejahteraan rakyat dari Biro Pusat Statistik pada tahun 2000/2001
penduduk perempuan yang berpendidikan SD sudah mencapai 33,4% yang bahkan
sedikit lebih tinggi daripada laki-laki lulusan SD 32,5%. Perempuan yang
berpendidikan SLTP 13% sedikit lebih rendah dari laki-laki yang berpendidikan
sama yaitu sebesar 15%. Penduduk perempuan yang berpendidikan SMA adalah 11,4%
atau lebih rendah dari laki-laki yang berpendidikan sama yaitu sebesar 15,7%.
Sementara itu, penduduk perempuan berpendidikan sarjana sudah mencapai 2,1%
yang masih lebih rendah dari penduduk laki-laki yang berpendidikan sarjana
3,2%. Factor yang menghambat akses
perempuan terhadap pendidikan tingkat atas dan tinggi adalah jumlah sekolah
yang terbatas, dan jarak tempuh yang jauh diduga lebih membatasi anak perempuan
untuk berseskolah dibandingkan laki-laki. Perkawinan dini juga diduga menjadi
sebab mengapa perempuan tidak melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi.
Laporan
departemen pendidikan yang penyusunannya dibiayai UNICEF, juga menjelaskan
bahwa kondisi pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan, khususnya bagi
anak perempuan yang ingin melanjutkan pendidikan kesekolah menengah, atau
mereka yang berasal dari keluarga miskin dan tinggal di pedesaan.
Selain
itu juga ditemukan gejala pemisahan gender dalam jurusan atau program studi
sebagai salah satu bentuk diskriminasi gender secara sukarela ke dalam bidang
keahlian. Pemilihan jurusan – jurusan bagi anak perempuan lebih dikaitkan
dengan fungsi domestik, sementara itu anak laki-laki diharapkan berperan dalam
menopang keonomi keluarga sehingga harus lebih banyak memilih keahlian-keahlian
ilmu keras, teknologi dan industri. Penjurusan pada pendidikan menengah
kejuruan dan pendidikan tinggi menunjukkan masih terdapatnya stereotype dalam
sistem pendidikan di Indonesia yang
mengakibatkan tidak berkembangnya
pola persaingan sehat menurut gender.
Sebagai contoh, bidang ilmu sosial pada umumnya didominasi siswa
perempuan, sementara bidang ilmu teknis umumnya didominasi siswa laki-laki.
Pada tahun ajaran 2000/2001, persentase siswa perempuan yang bersekolah di SMK
program studi teknologi industri baru mencapai 18,5 persen, program studi
pertanian dan kehutanan 29,7 persen.
Sedangkan
ketimpangan pada hasil pendidikan adalah perbedaan akhir pendidikan.
Ketimpangan pada hasil pendidikan menunjukkan adanya perbedaan antara laki-laki
dan perempuan pada prestasi pendidikan. Prestasi di antara mereka tidak
sepadan. Prestasi laki-laki lebih tinggi atau lebih baik daripada perempuan.
Ketimpangan
akses pendidikan dapat berdampak pada feminisasi dalam pendidikan.
Ketidaksamaan kesempatan dalam pendidikan antara laki-laki dan perempuan akan
berdampak pada kecenderungan melihat bahwa perempuan hanya bisa diterima pada
sistem pendidikan tertentu. Di masyarakat berkembang sikap bahwa perempuan
hanya cocok pada jenis pendidikan tertentu dan tidak pantas memilih sistem
pendidikan lainnya.
Dengan
rendahnya tingkat pendidikan penduduk yang berjenis kelamin perempuan maka,
secara otomatis perempuan belum berperan secara maksimal. Pencanangan wajib
belajar pada usia 6 tahun pada tahun 1984 dan program wajib belajar 9 tahun
pada tahun 1994, belum memberikan hasil yang signifikan terhadap perempuan.
Terjadinya
pengingkaran dan diskriminasi terhadap hak-hak perempuan seperti yang
digambarkan di atas, menurut Masdar F. Mus’udi pangkal mulanya adalah
disebabkan oleh adanya pelebelan sifat-sifat tertentu pada kaum perempuan yang
cenderung merendahkan. Misalnya perempuan itu lemah, lebih emosional ketimbang
nalar, cengeng, tidak tahan banting, tidak patut hidup selain di dalam rumah
tangga, dll. Setidaknya ada empat persoalan yang menimpa perempuan akibat
adanya pelebelan ini . Pertama, melalui proses subordinasi (meletakkan
perempuan di bawah supremasi lelaki), perempuan harus tunduk kepada sesame
manusia, yakni kaumlelak. Pemimpin atau imam hanya pantas dipantas dipegang
oleh laki-laki, perempuan hanya bolehh menjadi makmum saja. Kedua, perempuan
cenderung dimarginalkan, diletakkan di pinggir. Ketiga, karena kedudukannya
yang lemah, perempuan sering menjadi sasaran tindak kekerasan oleh kaum
laki-laki. Keempat, perempuan hanya menerima beban pekerjaan yang jauh lebih
berat dan lebih lama daripada yang dipukul kaum laki-laki.
Secara khusus faktor
penyebab bias gender dalam Pendidikan adalah:
1.
Perbedaan angkatan partisipasi pendidikan pada tingkat SD/Ibtidaiyah sudah
mencapai titik optimal yang tidak mungkin diatasi hanya dengan kebijakan
pendidikan, sehingga perbedaan itu menjadi semakin sulit ditekan ke titik yang
lebih rendah lagi. Kesenjangan ini lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor
struktur karena fasilitas pendidikan SD sudah tersebar relatif merata.
Faktor-faktor struktural itu di antaranya adalah nilai-nilai sosial budaya, dan
ekonomi keluarga yang lebih menganggap pendidikan untuk anak laki-laki lebih
penting dibandingkan dengan perempuan. Faktor ini berlaku terutama di
daerah-daerah terpencil yang jarang penduduknya serta pada keluarga-keluarga
berpendidikan rendah yang mendahulukan pendidikan untuk anak laki-laki.
2.
Pada tingkat SLTP/Tsanawiyah dan SMU/Madrasah Aliyah perbedaan angka
partisipasi menurut gender lebih banyak terjadi pada daerah-daerah yang masih
kekurangan fasilitas pendidikan, terutama di daerah-daerah pedesaan dan luar
Jawa. Faktor penyebab bias gender pada tingkat SLTP ke atas relatif lebih kecil
dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial budaya dan ekonomi keluarga karena siswa
dan mahasiswa yang datang dari keluarga sosial ekonomi tinggi sudah lebih besar
proporsinya. Dengan demikian, pengadaan dan distribusi sumber-sumber pendidikan
SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi masih menjadi faktor penting untuk mengurangi
bias gender dalam pendidikan.
3.
Partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan pendidikan sangat
rendah karena akses perempuan juga masih dirasakan rendah dalam menempati
jabatan-jabatan birokrasi pemegang kebijakan. Proporsi kepada sekolah perempuan
secara konsisten masih kecil dibandingkan dengan laki-laki pada setiap jenjang
pendidikan. Perempuan pemegang jabatan struktural, dari tingkatan strategis
sampai operasional jauh lebih rendah daripada lawan jenisnya. Oleh karena itu,
banyak kebijakan pendidikan kurang sensitif gender, yang akan berdampak luas
terhadap berbagai dimensi bias gender dalam bidang pendidikan.
4.
Laki-laki lebih dominan dalam mempengaruhi isi kurikulum sehingga proses
pembelajaran cenderung bias laki-laki (male bias). Fenomena ini dapat diamati
dari buku-buku pelajaran yang sebagian besar penulisnya adalah laki-laki.
Penulis buku laki-laki sangat dominan.
5.
Isi buku pelajaran yang membahas status perempuan dalam masyarakat akan banyak
memberikan pengaruh terhadap kesenjangan gender dalam proses pendidikan. Muatan
dari sebagian bukubuku pelajaran (khususnya IPS, PPKN, Pendidikan Jasmani,
Bahasa dan Sastra Indonesia, Kesenian dan sejenisnya) yang berhasil diamati
cenderung kurang berwawasan gender khususnya berkaitan dengan konsep keluarga
atau peran perempuan dalam keluarga yang telah lama dipengaruhi oleh cara
berpikir tradisional, bahwa laki-laki adalah pemegang fungsi produksi sedangkan
perempuan memegang fungsi reproduksi.
6.
Faktor kesenjangan antar gender dalam pendidikan jauh lebih dominan laki-laki.
Khususnya dalam lembaga birokrasi di lingkungan pendidikan sebagai pemegang
kekuasaan atau kebijaksanaan, maupun dalam jabatan-jabatan akademis
kependidikan sebagai pemegang kendali pemikiran yang banyak mempengaruhi
pendidikan. Keadaan ini akan semaik bertambah parah jika para pemikir atau
pemegang kebijaksanaan pendidikan tersebut tidak memiliki sensivitas gender.
7.
Khusus pada kebijaksanaan pendidikan, khususnya menyangkut sistem seleksi dalam
pendidikan. Kontrol dalam penerimaan karyawan terutama disektor swasta sangat
dirasakan bias gender. Kenyataan menunjukkan bahwa jika suami istri berada
dalam salah satu perusahaan, misalnya Bank, baik ilik pemerintah maupun swasta,
maka salah satunya memilih untuk keluar dan biasanya perempuanlah yang memilih
keluar dari pekerjaan. Ini bagian dari faktor-faktor bias gender dalam
pendidikan.
8.
Faktor struktural yakni yang menyangkut nilai, sikap, pandangan dan perilaku
masyarakat yang secara dominan mempengaruhi keputusan keluarga untuk memilih
jurusan-jurusan yang lebih dianggap cocok untuk perempuan, seperti pekerjaan
perawat, kesehatan, teknologi kerumahtanggaan, psikologi, guru sekolah, dan
sebagainya. Hal ini terjadi karena perempuan dianggapnya memiliki fungsi-fungsi
produksi. Laki-laki dianggap berperan sebagai fungsi penopang ekonomi keluarga
sehingga harus lebih banyak memilih keahlian-keahlian ilmu teknologi dan
industri.
Faktor
lain yang turut mempengaruhi bias gender dalam pendidikan adalah muncul
persaingan dengan teknologi yang menggantikan peranan pekerja perempuan dengan
mesin. Dampaknya, lagi-lagi perempuan menjadi korban teknologi khususnya
perempuan yang memiliki tingkat pendidikan rendah ditambah pula dengan
kemampuan ekonomi yang masih lemah.
C.
Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan
Keadilan
dan kesetaraan adalah gagasan dasar, tujuan dan misi utama peradaban manusia
untuk mencapai kesejahteraan, membangun keharmonisan kehidupan bermasyarakat,
bernegara dan membangun keluarga berkualitas. Jumlah penduduk perempuan hampir
setengah dari seluruh penduduk Indonesia dan merupakan potensi yang sangat
besar dalam mencapai kemajuan dan kehidupan yang lebih berkualitas. Kesetaraan
Gender, Kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya,
pendidikan dan pertahanan & keamanan nasional (hankamnas) serta kesamaan
dalam menikmati hasil pembangunan. Keadilan gender suatu perlakuan adil
terhadap perempuan dan laki-laki. Perbedaan biologis tidak bisa dijadikan dasar
untuk terjadinya diskriminasi mengenai hak sosial, budaya, hukum dan politik
terhadap satu jenis kelamin tertentu. Dengan keadilan gender berarti tidak ada
pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap
perempuan maupun laki-laki. Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender,
ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dan
dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi dan kontrol
atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari
pembangunan.
·
Dasar Persamaan Pendidikan
Dasar
persamaan pendidikan menghantarkan setiap individu atau rakyat mendapatkan
pendidikan sehingga bisa disebut pendidikan kerakyatan. Sebagaimana Athiyah,
Wardiman Djojonegoro menyatakan bahwa ciri pendidikan kerakyatan adalah
perlakuan dan kesempatan yang sama dalam pendidikan pada setiap jenis kelamin
dan tingkat ekonomi, sosial, politik, agama dan lokasi geografis publik. Dalam
kerangka ini, pendidikan diperuntukkan untuk semua, minimal sampai pendidikan
dasar. Sebab, manusia memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan yang
layak. Apabila ada sebagian anggota masyarakat, sebodoh apapun yang tersingkir
dari kebijakan kependidikan berarti kebijakan tersebut telah meninggalkan sisi
kemanusiaan yang setiap saat harus diperjuangkan.
Sebagaimana
disebutkan sebelumnya, bahwa nilai kemanusiaan terwujud dengan adanya
pemerataan yang tidak mengalami bias gender. Masalah pendidikan, antara anak
perempuan dan anak laki-laki hendaknya harus seimbang. Anak perempuan,
sebagaimana anak laki-laki harus punya hak/kesempatan untuk sekolah lebih
tinggi. Bukan menjadi alternative kedua jika kekurangan biaya untuk sekolah.
Hal ini dengan pertimbangan adanya penghambur-hamburan uang sebab mereka akan
segera bersuami, peluang kerjanya kecil dan bisa lebih banyak membantu orang
tua dalam pekerjaan rumah. Pendirian seperti ini melanggar etika Islam yang
memperlakukan orang dengan standar yang materialistik. Islam menyerukan adanya
kemerdekaan, persamaan dan kesempatan yang sama antara yang kaya dan yang
miskin dalam bidang pendidikan di samping penghapusan sistem-sistem kelas-kelas
dan mewajibkan setiap muslim laki-laki dan perempuan untuk menuntut ilmu serta
memberikan kepada setiap muslim itu segala macam jalan untuk belajar, bila
mereka memperlihatkan adanya minat dan bakat.
Dengan
demikian, pendidikan kerakyatan seharusnya memberikan mata pelajaran yang
sesuai dengan bakat dan minat setiap individu perempuan, bukan hanya diarahkan
pada pendidikan agama dan ekonomi rumah tangga melainkan juga masalah pertanian
dan keterampilan lain. Pendidikan dan bantuan terhadap perempuan dalam semua
bidang tersebut akan menjadikan nilai yang amat besar-merupakan langkah awal
untuk memperjuangkan persamaan yang sesungguhnya.
Pendidikan
memang harus menyentuh kebutuhan dan relevan dengan tuntutan zaman yaitu
kualitas yang memiliki keimanan dan hidup dalam ketakwaan yang kokoh,
mengenali, menghayati dan menerapkan akar budaya bangsa, berwawasan luas dan
komprehensif, menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan mutakhir, mampu
mengantisipasi arah perkembangan, berpikir secara analitik, terbuka pada
hal-hal yang baru, mandiri, selektif, mempunyai kepedulian sosial yang tinggi
dan berusaha meningkatkan prestasi. Perempuan dalam pendidikannya juga
diarahkan agar mendapatkan kualitas tersebut sesuai dengan taraf kemampuan dan
minatnya.
Ungkapan
Athiyah tentang pendidikan perempuan seakan menyadari kondisi riil historisitas
kaum muslimin yang secara sosial perempuan seringkali dirugikan oleh perilaku
sosialnya. Seperti gadis-gadis harus putus sekolah karena diskriminasi gender
(sebab pernikahan atau hamil diluar nikah) atau karena keterbatasan ekonomi
anak laki-laki mendapatkan prioritas utama walau potensinya tidak lebih tinggi
daripada anak perempuan.
D.
Upaya Penanggulangan Dampak Negatif Dari Bias Gender Pendidikan Dalam Islam
Ibu sebagai Pusat
Pendidikan
Untuk mengembalikan nilai kerakyatan dan kemanusiaan
pendidikan, Athiyah berpendapat bahwa pendidikan harus dipusatkan pada ibu.
Apabila perempuan terdidik dengan baik, niscaya pemerataan pendidikan telah
mencapai sasaran. Sebab, ibu adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga.
Minim sekali orang yang terlepas dari jangkauan ibunya. Ibu adalah sekolah bagi
rakyat tanpa mengenal lelah, ekonomi, waktu dan dilakkukan penuh kasih sayang.
Padahal inti demokrasi tertinggi adalah saat keterbukaan, kerelaan dan
persaudaraan telah mencapai tingkat kasih sayang. Peran ini adalah pendidikan
nonformal yang biasa dilakkukan perempuan di rumah.
Presiden Tanzania, Nyerere pernah mengatakan, “Jika anda
mendidik seorang laki-laki, berarti anda telah mendidik seorang person, tetapi
jika anda mendidik seluruh orang perempuan berarti anda telah mendidik seluruh
anggota keluarga.” Kondisi tersebut tidak bisa diperoleh lewat pendidikan yang
meninggalkan nilai persamaan dan kemanusiaan.
Sering dipahami bahwa perempuan didominasi perasaan
daripada rasio. Karenanya mereka cenderung sensitive, berbeda dengan laki-laki
yang lebih rasional karena yang dominan dalam dirinya adalah rasio sehingga
perempuan tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi yang melibatkan rasio
tersebut. Sebenarnya, kondisi yang sering disalah tafsirkan ini dari sisi
kemanusiaan malah menunjukkan sebaliknya, yaitu perempuan memliki beberapa
kelebihan diantaranya adalah lebih berperannya hati. Padahal, hati merupakan
penentu nilai baik-buruk individu. Mereka yang dekat dengan alam, tekun dan
teliti. Banyak bidang-bidnag yang membutuhkan kelebihan-kelebihan tersebut.
Di samping itu, dengan hati nurani juga seseorang
membongkar kemunafikan. Bila hati nurani jernih dan bersih, pasti sesuai dan
sama dengan hati nurani bangsa serta rakyat secara keseluruhan. Memang,
perempuan cenderung emosional dan sensitive. Karenanya, dengan hati dan
kesensitivannya mereka mendapatkan firasat-firasat keibuan yang membuatnya
menjadi peka dan memiliki intuisi tajam akan apa yang ada di permukaan dan
kasih sayang. Hal inilah yang menjadi inti dari nilai kemanusiaan.
Pusat pendidikan pada
ibu, dapat memberi kepekaan diatas sebagaimana kata Rukmini, “Ibulah yang
pertama kali tekun mendidik saya untuk memahami dunia dan kehidupan ini sebagai
keutuhan sistem. Beliau selalu mengajak saya bangun pada malam hari melihat
bintang dan menjelaskan soal jagad gede dan kaitannya dengan jagad cilik. Dari
beliau saya bisa belajar mengenai bagaimana memahami keberadaan hidup ini
dengan cara pandang yang taembus ruang dan waktu.”Dengan kasih sayangnya
Rukmini melakukan pembelaan terhadap siapa yang lemah dan tertindas. Kepedulian
seperti itu tak akan dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki hati nurani.
Upaya lain untuk
mengatasi bias gender dalam pendidikan Islam yang dapat dilakukan sebagai
berikut:
1.
Reintepretasi ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang bias gender dilakukan secaa
kontinu agar ajaran agama tidak dijadikan justifikasi sebagai kambing hitam
untuk memenuhi keinginan segelintir orang.
2.
Muatan kurikulum nasional yang menghilangkan dikotomis antara laki-laki dan
perempuan, demikian pula kurikulum local dengan berbasis kesetaraan, keadilan
dan keseimbangan. Kurikulum disusun sesuai dengan kebutuhan dan tipologi daerah
yang dimulai dari tingkat pendidikan Taman Kanak-Kanak sampai ke tingkat Perguruan Tinggi.
3.
Pemberdayaan kaum perempuan di sector pendidikan informal seperti pemberian
fasilitas belajar mulai di tingkat kelurahan sampai kepada tingkat kabupaten
disusaikan dengan kebutuhan daerah.
4.
Pemberdayaan disector ekonomi untuk meningkatkan pendapatan keluarga terutama
dalam kegiatan industry rumah tangga. Dengan demikian akan menghilangkan
ketergantungan ekonomi kepada laki-laki karena salah satu terjadinya
marginalisasi pada perempuan adalah ketergantungan ekonomi keluarga kepada
laki-laki.
5.
Pendidikan politik bagi perempuan agar dilakukan secara intensif untuk
menghilangkan melek politik bagi perempuan. Karena masih ada anggapan bahwa
politik itu hanya miliki laki-laki dan politik itu adalah kekerasan, padahal
sebaliknya politik adalah seni untuk mecapai kekuasaan. Dengan demikian kuota
30% sesuai dengan amanah Undang-Undang segera terpenuhi, mengingat pemilih
terbanyak adalah perempuan.
6.
Pemberdayaan disektor keterampilan, baik keterampilan untuk kebutuhan rumah
tangga maupun yang memiliki nilai jual ditingkatan, terutama kaum perempuan di
pedasaan agar terjadi keseimbangan antara perempuan yang tinggal di perkotaan dengan
pedesaan sama-sama memiliki keterampilan yang relative bagus.
7.
Sosialisasi Undang-Undang Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga lebih intens
dilakukan agar kaum perempuan mengetahui hak dan kewajiban yang harus dilakukan
sesuai dengan amahan dari UUK.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Gender
adalah memahami perbedaan konsep gender dan seks (jenis kelamin). Kesalahan
dalam memahami makna gender merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sikap
menentang atau sulit bisa menerima analisis gender dalam memcahkan masalah
ketidakadilan sosial.
Berbagai
bentuk kesenjangan gender yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan
masyarakat, terpresentasi juga dalam dunia pendidikan. Bahkan proses dan
institusi pendidikan dipandang berperan besar dalam mensosialisasikan dan
melestrikan nilai-nilai dan cara pandang yang mendasari munculnya berbagai
ketimpangan gender dalam masyarakat. Secara garis besar, fenomena kesenjangan
gender dalam pendidikan dapat diklasifikasi dalam beberapa dimensi, antara
lain:
Keadilan
dan kesetaraan adalah gagasan dasar, tujuan dan misi utama peradaban manusia
untuk mencapai kesejahteraan, membangun keharmonisan kehidupan bermasyarakat,
bernegara dan membangun keluarga berkualitas. Jumlah penduduk perempuan hampir
setengah dari seluruh penduduk Indonesia dan merupakan potensi yang sangat
besar dalam mencapai kemajuan dan kehidupan yang lebih berkualitas.
Untuk
mengembalikan nilai kerakyatan dan kemanusiaan pendidikan, Athiyah berpendapat
bahwa pendidikan harus dipusatkan pada ibu. Apabila perempuan terdidik dengan
baik, niscaya pemerataan pendidikan telah mencapai sasaran. Sebab, ibu adalah
pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Minim sekali orang yang terlepas
dari jangkauan ibunya. Ibu adalah sekolah bagi rakyat tanpa mengenal lelah, ekonomi,
waktu dan dilakkukan penuh kasih sayang. Padahal inti demokrasi tertinggi
adalah saat keterbukaan, kerelaan dan persaudaraan telah mencapai tingkat kasih
sayang.
DAFTAR PUSTAKA
Nasarudin
Umar, Argumen Kesetaraan Gender : Perspektif al-Qur’an, Jakarta : Paramadina,
2001, hal.
Mansour
Faqih, Analisis gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
1996, hal.8.
Jhon
M. Echol, dan Hasan Shadily, Kamus Besar Inggris-Indonesia, (Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama, 1996), cet.23a
Mansour
Faqih, Gender Sebagai Alat Analisis Sosial, Edisi 4 November 1996.
Mufidah
Ch, Paradigma Gender, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2003), hlm. 4-6.
Hanun
Asrohah, Sosiologi Pendidikan,
(Surabaya: Kopertais Press, 2008), cet. 1, h. 178.
Amasari (Member of PSG LAIN),
Laporan Penelitian Pendidikan Berujatuasan Gender,(Banjannasin: IAIN Antasari,
2005), hal. 31.
Philip
Robinson, Sosiologi Pendidikan, Jakarta : Rajawali Press, 1981, hal. 277.
Ace
Suryadi dan Ecep Idris, Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan, cet. I
(Bandung: Genesindo, 2004), h.19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar