BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan
dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir
sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar
anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang
diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan
anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang
menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik
(koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta,
kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku
serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap
perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Tujuan
diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu: Tujuan Utama: untuk
membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan
berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan
yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di
masa dewasa, Tujuan Penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan
belajar (akademik) di sekolah.
B. Rumusan Masalah
a. Peranan
Pendidikan Non Formal
b. Asas
Pendidikan Sepanjang Hidup
c. Pendidikan
PAUD
d. Peranan
Pendidikan Luar Sekolah
e. Peranan
Pemberdayaan Masyarakat
f. Peranan
Keluarga Dan Lingkungan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peranan Pendidikan Non Formal
Pendidikan
nasional, sebagai salah satu sistem dari supra sistem pembangunan nasional,
memiliki tiga subsistem pendidikan sebagaimana yang tercantum dalam
Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 yaitu pendidikan formal, pendidikan
nonformal, dan pendidikan informal. Pendidikan formal disebut juga pendidikan
sekolah sedangkan pendidikan nonformal dan informal tercakup ke dalam
pendidikan luar sekolah.
Menurut
pengertian Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 1 ayat 12 “Pendidikan
nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat
dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang” sedangkan ayat 13 menyatakan
“Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan”.
Coombs
(Trisnamansyah, 2003: 19) mendefinisikan nonformal education sebagai setiap
kegiatan pendidikan yang diorganisasikan di luar sistem persekolahan yang mapan
baik dilakukan secara terpisah atau sebagai bagian penting dari kegiatan yang
lebih besar, dilakukan secara sengaja untuk melayani peserta didik tertentu
guna mencapai tujuan belajarnya.
Sudjana
(2001: 63) pendidikan luar sekolah telah hadir di dunia ini sama tuanya dengan
kehadiran manusia yang berinteraksi dengan lingkungan di muka bumi ini dimana
situasi pendidikan ini muncul dalam kehidupan kelompok dan masyarakat. Kegiatan
pendidikan dalam kelompok dan masyarakat telah dilakukan oleh umat manusia jauh
sebelum pendidikan sekolah lahir di dalam kehidupan masyarakat. Pada waktu
permulaan kehadirannya, pendidikan luar sekolah dipengaruhi oleh pendidikan
informal, yaitu kegiatan yang terutama berlangsung dalam keluarga dimana
terjadi interaksi di dalamnya berupa transmisi pengetahuan, keterampilan,
sikap, nilai, dan kebiasaan. Pada dasarnya kegiatan tersebut menjadi akar untuk
tumbuhnya perbuatan mendidik yang dikenal dewasa ini.
Dalam
perkembangan selanjutnya, kelompok-kelompok yang terdiri dari keluarga-keluarga
mengadopsi pola transmisi tersebut ke dalam kehidupan kelompok seperti
keterampilan bercocok tanam. Kegiatan belajar-membelajarkan tersebut yang
dilakukan untuk melestarikan dan mewariskan kebudayaan secara turun temurun
itulah yang termasuk ke dalam kategori pendidikan tradisional yang kemudian
menjadi akar pertumbuhan pendidikan luar sekolah.
Sejak
awal kehadirannya di dunia ini, pendidikan luar sekolah telah berakar pada
tradisi dan adat istiadat yang dianut oleh masyarakat yang mendorong penduduk
untuk belajar, berusaha, dan bekerjasama atas dasar nilai-nilai budaya dan
moral yang dianut oleh masyarakat tersebut. Hal ini biasanya terdapat dalam
pepatah dan nasehat para orang tua yang intinya mendorong seseorang untuk
melakukan kegiatan belajar, berusaha, dan bekerjasama dalam masyarakat.
B. Asas Pendidikan Sepanjang Hidup
Pendidikan
luar sekolah didasari oleh empat asas yaitu asas kebutuhan, asas pendidikan
sepanjang hayat, asas relevansi dengan pembangunan masyarakat, dan asas wawasan
ke masa depan. Dalam hal ini perhatian lebih ditujukan pada asas pendidikan
sepanjang hayat yang relevan dengan topik yang sedang dibahas. Hawes,
(Trisnamansyah, 2003: 7) mengemukakan dua puluh karakteristik pendidikan
sepanjang hayat, antara lain:
1.
Pendidikan sepanjang hayat tidak hanya terbatas pada pendidikan orang dewasa
tapi juga meliputi serta menyatukan semua tingkat pendidikan prasekolah, SD,
SLTP dan seterusnya. Ini merupakan pandangan pendidikan secara menyeluruh.
Berdasarkan
karakteristik di atas maka pendidikan prasekolah telah diakui sebagai bagian
dari pendidikan sepanjang hayat. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Worth,
W.H. (Cropley, 1999: 43) yang mengemukakan bahwa pendidikan tidak boleh menolak
anak di bawah umur enam tahun dan menganjurkan pendidikan anak-anak awal yang
disebutnya “Early Ed. Tiga tujuan pokok “Early Ed”, yang meliputi perlengkapan
stimulasi, membantu pemahaman identitas, dan menciptakan pengalaman sosialisasi
yang tepat. Aspek terpenting anjuran Worth ialah pendidikan anak usia dini
sebagai fase pertama sistem pendidikan seumur hidup. Ia menyarankan bahwa
tujuannya harus memuat pengembangan keterampilan untuk mendayagunakan informasi
dan simbol-simbol, meningkatkan apresiasi bermacam-macam mode ekspresi diri,
memelihara keinginan dan kemampuan berpikir, menanamkan keyakinan setiap anak
tentang kemampuannya untuk belajar, membantu perasaan harga diri, dan akhirnya,
meningkatkan kemampuan untuk hidup dengan orang lain. Worth melihat pendidikan
anak usia dini meliputi variable yang kompleks dalam bidang kognitif, motivasi
dan sosio affektif yang jika berkembang dengan tepat akan menjadi basis
pemenuhan diri dalam kehidupan. Dengan demikian Worth mengakui pentingnya
pendidikan anak-anak usia prasekolah sebagai salah satu fase pendidikan seumur
hidup.
2.
Rumah memegang peranan pertama, tajam dan penting dalam memulai proses belajar
sepanjang hayat yang terus berlanjut sepanjang kehidupan individu melalui
proses belajar keluarga. Dalam keluargalah anak pertama kali mendapatkan
pengalaman belajarnya dimana diketahui bersama bahwa keluarga merupakan tempat
belajar di luar sekolah. Di dalam kehidupan keluarga ini terjadi interaksi, di
dalamnya berupa transmisi pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai, dan
kebiasaan. Pada dasarnya kegiatan tersebut menjadi akar untuk tumbuhnya
perbuatan mendidik yang dikenal dewasa ini (Sudjana, 2001: 63).
3.
Pendidikan Luar Sekolah Dalam Optimalisasi Tumbuh Kembang Anak
Undang-undang
Sisdiknas tahun 2003 pasal 28 menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini dapat
diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal (Taman Kanak-kanak, Raudatul
Athfal, atau bentuk lain yang sederajat), jalur pendidikan nonformal (Kelompok
Bermain, Taman Penitipan Anak, atau bentuk lain yang sederajat), dan/atau jalur
pendidikan informal yang berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang
diselenggarakan oleh lingkungan.
Oleh
karena itu sudah sewajarnya bila peran Pendidikan Luar Sekolah yang mencakup
pendidikan nonformal dan informal dalam memberikan pelayanan pendidikan dini
kepada anak-anak yang tak memperoleh pendidikan di jalur pendidikan formal.
C. Pendidikan Anak Usia Dini
Anak
usia dini sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang Sisdiknas tahun 2003
pasal 1 ayat 14 menyatakan bahwa: “Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya
pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun
yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan
dalam memasuki pendidikan lebih lanjut”. Batasan lain mengenai usia dini pada
anak berdasarkan psikologi perkembangan yaitu antara usia 0–8 tahun.
Di
samping istilah pendidikan anak usia dini terdapat pula terminologi
pengembangan anak usia dini yaitu upaya yang dilakukan oleh masyarakat dan atau
pemerintah untuk membantu anak usia dini dalam mengembangkan potensinya secara
holistik baik aspek pendidikan, gizi maupun kesehatan (Direktorat PADU,
2002:3).
Pertumbuhan
sering dikaitkan dengan kata perkembangan sehingga ada istilah tumbuh kembang.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa pertumbuhan merupakan bagian dari
perkembangan. Namun sebenarnya pertumbuhan dan perkembangan adalah dua hal yang
berbeda. Pertumbuhan adalah perubahan ukuran dan bentuk tubuh atau anggota
tubuh, misalnya bertambah berat badan, bertambah tinggi badan, bertambah
lingkaran kepala, bertambah lingkar lengan, tumbuh gigi susu, dan perubahan
tubuh yang lainnya yang biasa disebut pertumbuhan fisik. Pertumbuhan dapat
dengan mudah diamati melalui penimbangan berat badan atau pengukuran tinggi
badan anak. Pemantauan pertumbuhan anak dilakukan secara terus menerus dan
teratur.
Adapun
perkembangan adalah perubahan mental yang berlangsung secara bertahap dan dalam
waktu tertentu, dari kemampuan yang sederhana menjadi kemampuan yang lebih
sulit, misalnya kecerdasan, sikap, tingkah laku, dan sebagainya. Proses
perubahan mental ini juga melalui tahap pematangan terlebih dahulu. Bila saat
kematangan belum tiba maka anak sebaiknya tidak dipaksa untuk meningkat ke tahap
berikutnya misalnya kemampuan duduk atau berdiri.
Pertumbuhan
dan perkembangan masing-masing anak berbeda, ada yang cepat dan ada yang
lambat, tergantung faktor bakat (genetik), lingkungan (gizi dan cara perawatan
kesehatan), dan konvergensi (perpaduan antara bakat dan lingkungan). Oleh sebab
itu perlakuan terhadap anak tidak dapat disamaratakan, sebaiknya dengan
mempertimbangkan tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak (Diktentis
Diklusepa, 2003:8).
Pada
saat anak dilahirkan ia sudah dibekali tuhan dengan struktur otak yang lengkap,
namun baru mencapai kematangannya pada saat setelah di luar kandungan. Bayi
yang baru dilahirkan memiliki 100 miliar neuron dan bertriliun-triliun
sambungan antar neuron. Melalui persaingan alami akhirnya sambungan-sambungan
yang tidak atau jarang digunakan akan mengalami atrofi. Pemantapan sambungan
terjadi apabila neuron mendapatkan informasi yang mampu menghasilkan
letupan-letupan listrik. Letupan tersebut merangsang bertambahnya produksi
myelin yang dihasilkan oleh zat perekat glial. Semakin banyaknya zat myelin
yang diproduksi maka semakin banyak dendrit-dendrit yang tumbuh, sehingga akan
semakin banyak synapse yang berarti lebih banyak neuron-neuron yang menyatu
membentuk unit-unit. Kualitas kemampuan otak dalam menyerap dan mengolah
informasi tergantung dari banyaknya neuron yang membentuk unit-unit. Otak
manusia bersifat hologram yang dapat mencatat, menyerap, menyimpan,
mereproduksi dan merekonstruksi informasi.
Kemampuan
otak yang dipengaruhi oleh kegiatan neuron ini tidak bersifat spontan, tetapi
dipengaruhi oleh mutu dan frekuensi stimulasi yang diterima indra. Stimulasi
pada tahun-tahun pertama kehidupan anak sangat mempengaruhi struktur fisik otak
anak, dan hal tersebut sulit diperbaiki pada masa-masa kehidupan selanjutnya.
Implikasinya adalah bahwa anak yang tidak mendapatkan stimulasi psikososial
seperti jarang disentuh atau jarang diajak bermain akan mengalami berbagai
penyimpangan perilaku. Penyimpangan tersebut dalam bentuk hilangnya citra diri
yang berakibat pada rendah diri, sangat penakut, dan tidak mandiri, atau
sebaliknya menjadi anak yang tidak memiliki rasa malu dan terlalu agresif.
Stimulasi
psikososial untuk merangsang pertumbuhan anak tidak akan memberikan arti bagi
masa depan anak jika derajat kesehatan dan gizi anak tidak menguntungkan.
Pertumbuhan otak anak ditentukan oleh bagaimana cara pengasuhan dan pemberian
makan serta stimulasi anak pada usia dini yang sering disebut critical period
ini. Gizi yang tidak seimbang maupun gizi buruk serta derajat kesehatan anak
yang rendah akan menghambat pertumbuhan otak, dan pada gilirannya akan
menurunkan kemampuan otak dalam mencatat, menyerap, mereproduksi dan
merekonstruksi informasi. Di samping itu, rendahnya derajat kesehatan dan gizi
anak akan menghambat pertumbuhan fisik dan motorik anak yang juga berlangsung
sangat cepat pada tahun-tahun pertama kehidupan anak. Gangguan yang terjadi
pada pertumbuhan fisik dan motorik anak, sulit diperbaiki pada periode berikutnya,
bahkan dapat mengakibatkan cacat yang permanen (Dirjen Diklusepa, Depdiknas:
2002).
Konsep
di atas menuntut adanya pengintegrasian aspek psiko-sosial/pendidikan, gizi dan
kesehatan dalam proses tumbuh kembang anak atau dengan kata lain anak mendapatkan
layanan dasar secara holistik.
Dalam
perkembangan anak, pada saat-saat tertentu dapat terjadi kemandegan tugas-tugas
perkembangan (discontinuity), misalnya karena sakit, namun setelah masa ini
berlalu ada tugas perkembangan yang bisa dikejar dan ada pula yang tidak bisa
dikejar sama sekali.
D. Peranan Pendidikan Luar Sekolah
Berdasarkan
data sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan bahwa dari jumlah 26,09 juta anak
usia 0-6 tahun, sebagian besar (sekitar 17, 99 juta anak atau 68,9%) belum
terlayani dalam pendidikan prasekolah. Taman Kanak-kanak dan Raudhatul Athfal
hanya mampu melayani sekitar 2 (dua) juta anak dari 12,6 juta anak usia 4-6
tahun yang ada.
Berkenaan
dengan hal tersebut di atas maka sewajarnya bila peran Pendidikan Luar Sekolah
yang mencakup pendidikan nonformal dan informal – dalam memberikan pelayanan
pendidikan dini pada anak-anak yang tak memperoleh pendidikan di jalur
pendidikan formal sangatlah penting dan mendesak. Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD) yang diselenggarakan pendidikan luar sekolah berupa kelompok bermain,
taman penitipan anak, dan satuan pendidikan anak usia dini yang sejenis.
Kelompok
bermain adalah salah satu bentuk layanan PAUD bagi anak usia tiga – enam tahun,
yang berfungsi untuk meletakkan dasar-dasar ke arah perkembangan sikap,
pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan bagi anak usia dini dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan
selanjutnya, sehingga siap memasuki pendidikan dasar.
Taman
Penitipan Anak adalah wahana pendidikan dan pembinaan kesejahteraan anak yang
berfungsi sebagai pengganti keluarga untuk jangka waktu tertentu selama
orangtuanya berhalangan atau tidak memiliki waktu yang cukup dalam menagsuh
anaknya karena bekerja atau sebab lain.
Satuan
PAUD sejenis merupakan bentuk-bentuk layanan PAUD lainnya yang tidak
diselenggarakan dalam bentuk taman penitipan anak ataupun kelompok bermain.
Satuan PAUD sejenis dapat berbentuk: PAUD dalam keluarga dan berbagai layanan
pendidikan lainnya, baik yang bersifat khusus maupun umum yang diselenggarakan
bagi anak usia dini.
PAUD
Terintegrasi Posyandu atau Pospadu adalah pengembangan dari satuan PAUD
sejenis, yang merupakan upaya pendidikan bagi anak usia dini yang dilaksanakan
dengan mengintegrasikan pendidikan dengan program posyandu, sehingga anak
memperoleh layanan dasar secara holistik/menyeluruh yang mencakup layanan gizi,
kesehatan, dan pendidikan.
E. Peranan dan Pemberdayaan
Masyarakat
Kenyataan
bahwa masih banyak anak usia dini yang belum mendapatkan pelayanan pendidikan
tak dapat dipungkiri, terlebih bagi masyarakat kelas bawah yang merupakan
sebagian besar penduduk Indonesia yang berada di pedesaan. Hal itu disebabkan
antara lain kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak usia dini
masih sangat rendah.
Kesadaran
masyarakat terhadap pentingnya gizi dan kesehatan untuk peningkatan kualitas
anak, nampaknya jauh lebih baik daripada kesadaran akan pentingnya pendidikan.
Hasil penelitian Meneg Pemberdayaan Perempuan tahun 2001 di wilayah Jakarta dan
sekitarnya seperti yang dilansir oleh Yayasan Kita dan Buah Hati (Jalal, 2002:
13) menyebutkan bahwa pada umumnya masyarakat memandang belum perlu pendidikan
diberikan kepada anak usia dini. Hal ini sangat wajar mengingat bahwa pemahaman
masyarakat terhadap pentingnya PAUD masih sangat rendah serta pada umumnya
mereka berpandangan bahwa pendidikan identik dengan sekolah, sehingga bagi anak
usia dini pendidikan dipandang belum perlu.
Lebih
jauh Hadis (2002: 25) mengemukakan ada beberapa faktor yang menjadikan penyebab
masih rendahnya kesadaran masyarakat di bidang pendidikan anak usia dini
seperti: ketidaktahuan, kemiskinan, kurang berpendidikan, gagasan orangtua
tentang perkembangan anak yang masih sangat tradisional, kurang mau berubah,
masih sangat konkret dalam berpikir, motivasi yang rendah karena kebutuhan yang
masih sangat mendasar (untuk survival), serta masih sangat dipengaruhi oleh
budaya setempat yang sempit.
Rendahnya
tingkat partisipasi anak mengikuti pendidikan prasekolah dapat juga dipengaruhi
oleh beberapa hal lainnya seperti: (1) Masih terbatas dan tidak meratanya
lembaga layanan PAUD yang ada di masyarakat terutama di pedesaan. Sebagai
contoh pertumbuhan TK, KB/RA, dan TPA di perkotaan lebih pesat dibandingkan di
pedesaan; (2) Rendahnya dukungan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan
anak usia dini. Fakta menunjukkan (Rosadi, 2002) dari 41.317 buah TK di seluruh
Indonesia, 41.092 buah (99.46%) didirikan oleh pihak swasta sedangkan
pemerintah hanya mendirikan 225 buah (0.54%). Jumlah TK tersebut tidaklah
berimbang dengan jumlah anak yang seharusnya mengikuti pendidikan dini.
Memang
berhasilnya PAUD merupakan tanggung jawab pemerintah bersama masyarakat
terutama keluarga yang merupakan penanggungjawab utama dalam optimalisasi
tumbuh kembang anak. Peran pemerintah adalah memfasilitasi masyarakat agar
mereka dapat mengoptimalkan tumbuh kembang anak.
Upaya
pemerintah untuk memfasilitasi masyarakat antara lain melalui standarisasi
kurikulum guna membantu masyarakat mengontrol penyelenggaraan pendidikan agar
tidak merugikan peserta didik maupun masyarakat, peningkatan kemampuan profesi
dan akademik bagi tenaga kependidikan, peningkatan fungsi keluarga sebagai
basis pendidikan anak, serta pengembangan manajemen pembelajaran yang mencakup
pengembangan metodologi pembelajaran, pengembangan sarana dan bahan belajar
termasuk bacaan anak, pengembangan permainan dan alat permainan serta
pengembangan evaluasi tumbuh kembang anak.
Dalam
rangka memberikan perhatian secara khusus terhadap anak usia dini yang tidak
terlayani pada lembaga formal (TK/RA) maka dibentuklah Direktorat PADU di
lingkungan Depdiknas. Kehadiran direktorat ini terutama untuk memberikan
layanan, bimbingan dan atau bantuan teknis edukatif yang tepat terhadap semua
layanan anak usia dini (di luar TK dan RA) yang ada di masyarakat.
Masyarakat
itu sendiri juga perlu meningkatkan peran sertanya secara aktif dalam
pelaksanaan, pembinaan, dan pelembagaan pembinaan anak. Untuk itu pemerintah
perlu memberdayakan peranserta masyarakat sebagai upaya menumbuhkan dan
mengembangkan kemampuan masyarakat, dengan cara mengembangkan segala potensi
yang dimiliki agar masyarakat memiliki kemampuan sendiri dalam menentukan
pilihan dan mengambil keputusan. Dalam kondisi seperti ini, sinergi antara pemerintah
dengan masyarakat sangat diperlukan. Perlu pula diingat bahwa kebanyakan
program PAUD masih berjalan sendiri-sendiri, tidak ada sinergi antar program
yang ada di masyarakat.
Sinergi
berbagai unsur yang berkepentingan dalam pembinaan anak merupakan kunci
keberhasilan upaya pembinaan anak. Pemerintah harus memperluas jaringan
kemitraan. Jaringan kemitraan merupakan kunci efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan program pendidikan, dimana selama ini tumpang tindih program
termasuk pembinaannya, merupakan kesalahan sebagai akibat tidak berjalannya
jaringan kemitraan termasuk koordinasi sebagai salah satu komponennya. Di
samping itu adanya jaringan kemitraan yang luas di setiap tingkatan institusi
masyarakat, mulai dari pusat sampai grass-root, merupakan jawaban atas
keberlangsungan suatu program di masyarakat.
Program
yang mempunyai jaringan kemitraan memiliki ciri-ciri antara lain tingginya
komitmen semua unsur yang terlibat dan tingginya rasa memiliki masyarakat
terhadap program yang ada. Kedua ciri ini merupakan komponen terpenting untuk
menjamin keberlangsungan suatu program yang pada gilirannya mengarah pada
pelembagaan program di masyarakat. Perluasan jaringan kemitraan agar efektif
hendaknya diarahkan pada penciptaan situasi kondusif yang menumbuh kembangkan
komitmen semua unsur dan kepemilikan oleh masyarakat terhadap suatu program.
F. Peranan Keluarga dan Lingkungan
Bagi
anak usia dini, orangtua merupakan guru yang terpenting dan rumah tangga
merupakan lingkungan belajar utamanya. Harus diingat bahwa fungsi PAUD bukan
sekedar untuk memberikan berbagai pengetahuan kepada anak melainkan yang tidak
kalah pentingnya adalah untuk mengajak anak berpikir, bereksplorasi, bergaul,
berekspresi, berimajinasi tentang berbagai hal yang dapat merangsang pertumbuhan
sinaps baru dan memperkuat yang telah ada serta menyeimbangkan berfungsinya
kedua belahan otak (Jalal, 2002: 15). Oleh karena itu lingkungan yang baik
untuk PAUD adalah lingkungan yang mendukung anak melakukan kegiatan tersebut.
Selama ini ada anggapan bahwa lingkungan yang baik adalah ruangan yang
berdinding putih, bersih, dan tenang. Sebuah anggapan yang keliru karena
ruangan tanpa rangsangan semacam itu justru menghambat perkembangan anak.
Memang
benar bahwa faktor bawaan juga berpengaruh terhadap kecerdasan seseorang tetapi
pengaruh lingkungan juga merupakan faktor yang tidak kalah pentingnya. Jika
faktor bawaan dimisalkan sebagai dasar maka faktor lingkungan merupakan
pengembangannya. Tanpa diperkaya oleh lingkungan, modal dasar tersebut tidak akan
berkembang bahkan bisa jadi menyusut.
Jika
orangtua karena satu dan lain hal tidak melaksanakan fungsinya sebagai
pendidik, fungsi ini dapat dialihkan (sebagian) kepada pengasuh, lembaga
pendidikan/penitipan anak, lingkungan atau siapa saja yang mampu berperan
sebagai pengganti. Peran pengganti ini dapat dilakukan baik di lingkungan
keluarganya (pengasuh) atau di luar lingkungan keluarga (KB, TPA & lembaga
PAUD sejenis).
Menciptakan
lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak adalah sangat penting. Pengaturan
lingkungan yang membuat anak dapat bergerak bebas dan aman untuk bereksplorasi
merupakan kondisi yang sangat baik bagi perkembangan anak, anak dapat
meningkatkan daya imajinasi dan kreativitas serta diperolehnya
pengalaman-pengalaman baru.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD) sangat penting dan mendasar sebab merupakan hulu dalam
pengembangan sumber daya manusia. Periode emas (Golden Period) dalam tumbuh
kembang anak hanya terjadi sekali dalam kehidupan manusia yang dimulai sejak
lahir hingga usia delapan tahun. Penelitian di bidang neurologi mengungkapkan
bahwa perkembangan kecerdasan anak 50% terjadi pada empat tahun pertama
kemudian mencapai 80% hingga usia delapan tahun dan akhirnya 100% pada usia 18
tahun.
Anak-anak
yang berada pada rentang usia dini yang memperoleh asupan pendidikan masih
sangat minim. Anak usia 0–6 tahun berjumlah 26,09 juta akan tetapi yang
terlayani dalam PAUD di jalur pendidikan formal (TK/RA) baru sekitar dua juta
anak sehingga peran pendidikan luar sekolah dalam membantu mengatasi masalah
tersebut sangat penting dan mendesak.
Kurangnya
anak usia dini yang mendapatkan layanan pendidikan disebabkan beberapa faktor
diantaranya: (1) kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan pada
anak usia dini; (2) masih terbatas dan tidak meratanya lembaga layanan PAUD
yang ada di masyarakat terutama di pedesaan. Sebagai contoh pertumbuhan TK,
KB/RA, dan TPA di perkotaan lebih pesat dibandingkan di pedesaan; (3) rendahnya
dukungan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Terdapat
41.317 buah TK di seluruh Indonesia, hanya 225 buah (0.54%) TK yang didirikan
oleh pemerintah, selebihnya dibangun oleh swasta.
B.
Saran
Sangat diperlukan
sekali kesadaran dan kepedulian dari berbagai kalangan baik dari pemerintah,
pihak sekolah maupun para orang tua. Dimana kesemuanya ( pemerintah, pihak
sekolah, orang tua ) sangat berpengaruh terhadap jumlah anak yang akan putus
sekolah
DAFTAR PUSTAKA
Abdulhak, Ishak. (2002).
“Memposisikan Pendidikan Anak Dini Usia Dalam Sistem Pendidikan Nasional”.
Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 54–59. Cropley. (……). Pendidikan
Seumur Hidup Suatu Analisis Psikologi. Surabaya: Usaha Nasional. Depdikbud.
(1998). Petunjuk Kegiatan Belajar Mengajar Taman Kanak-kanak. Jakarta:
Depdikbud. Depdiknas. (2002). Sambutan Pengarahan Direktur Jenderal PLSP pada
Lokakarya Pengembangan Program PADU, Jakarta. Depdiknas. (2003). Bahan
Sosialisasi Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas. Direktorat
Tenaga Teknis. (2003). Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia 0–6 Tahun.
Jakarta: Ditjen PLSP–Depdiknas. Direktorat PADU. (2001). Informasi Tentang
Pendidikan Anak Dini Usia Pendidikan Prasekolah Pada Jalur Pendidikan Luar
Sekolah. Jakarta: Direktorat PADU -Ditjen PLSP–Depdiknas. Direktorat PADU.
(2002). Acuan Menu Pembelajaran pada Pendidikan Anak Dini Usia (Menu Pembelajaran
Generik). Jakarta: Direktorat PADU-Ditjen PLSP–Depdiknas. Direktorat PADU.
(2003). Model PADU Terintegrasi Posyandu. Jakarta: Direktorat PADU-Ditjen
PLSP–Depdiknas. Gutama. (2003). “Kebijakan Direktorat Pendidikan Anak Dini Usia
(PADU)”. Makalah pada Pelatihan Penyelenggara Program PADU, Bandung. Hadis,
Fawzia Aswin. (2002). “Strategi Sosialisasi Dalam Memberdayakan Masyarakat”.
Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. Jalal, Fasli. (2002). “Meningkatkan
Kesadaran Masyarakat Akan Pentingnya PADU”. Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak
Dini Usia. Rosadi, Damanhuri. (2002). “Pendidikan Anak Dini Usia Dalam Kerangka
Otonomi Daerah”. Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. Sudjana, D. (2001).
Pendidikan Luar Sekolah. Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falasafah, Teori
Pendukung, Asas. Bandung: Penerbit Falah Production. Supriadi, Dedi. (2002).
“Memetakan Kembali Pendekatan Pembelajaran Pendidikan Anak Dini Usia”. Buletin
Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. Trisnamansyah, Sutaryat. (2003). “Materi
Pokok Perkuliahan Filsafat, Teori, dan Konsep Dasar PLS”. Bandung: Makalah
tidak diterbitkan.\ http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_anak_usia_dini notes: telah terbit di Jurnal
Pelangi Ilmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar