BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Carut-marut
dunia pendidikan Indonesia, sungguhnya merupakan sebuah realitas yang sangat
memprihatinkan. Mahalnya biaya pendidikan yang tidak serta merta dibarengi
dengan peningkatan kualitas secara signifikan, tentu menimbulkan tanda tanya
besar mengenai orientasi pendidikan yang sebenarnya sedang ingin dicapai. Ironisnya,
disaat beberapa negara tetangga terus berupaya keras melakukan peningkatan
kualitas pada sektor pendidikan, banyak pihak di negara ini justru menempatkan
pendidikan sebagai suatu komoditas yang memiliki nilai jual yang tinggi. Tak
mengherankan bahwa ketika banyak pihak mengejar pendidikan dari sisi kuantitas,
tentu menimbulkan berbagai macam konsekuensi logis seperti terabaikannya faktor
kualitas pendidikan.
Parahnya
lagi, belakangan kita juga telah disadarkan bahwa banyak lulusan pendidikan
formal tidak memiliki spesifikasi keahlian yang dibutuhkan oleh dunia kerja.
Menanggapi kondisi yang seperti ini, Paulus Wisnu Anggoro, Direktur UAJY-Delcam
Traning Center, menuturkan bahwa banyak dari kalangan industri yang menjadi
kliennya mengeluhkan keterbatasan skill yang dimiliki oleh para lulusan
perguruan tinggi, sehingga mau tidak mau seorang fresh graduate harus dilatih dari awal lagi. Ini pemborosan untuk pihak perusahaan sebagai user lulusan perguruan tinggi.
Indonesia mengalami krisis SDM sebenarnya berpangkal pada buruknya kualitas
pendidikan yang dilaksanakan. Untuk menghadapi krisis, sistem
pendidikan memerlukan bantuan dari semua sektor kehidupan domestik dan pada
beberapa kasus, juga memerlukan sumber-sumber di luar batas nasional.
B.
Rumusan Masalah
- Peranan Pendidikan Non formal
- Sasaran dan Karakteristik Pendidikan Non Formal
- Peranan Keluarga dan Lingkungan
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Peranan Pendidikan Non Formal
Lingkungan
yang berfungsi melahirkan individu-individu terdidik (educational individuals) bukan hanya lingkungan keluarga yang
disebut juga lingkungan pertama, lingkungan sekolah yang disebut juga
lingkungan kedua, tetapi juga lingkungan masyarakat yang disebut juga
lingkungan ketiga. (Purwanto, 1986 : 148). Peranan penting pendididkan pada
lingkungan ketiga yang dikenal dengan lingkungan masyarakat atau pendidikan non
formal dikarenakan manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial
manusia menjadi bagian dari pelbagai golongan dalam masyarakat, baik dengan
sendirinya maupun dengan sengaja. Manusia
dengan sendirinya adalah bagian dari keluarga, kota, negara dan kelompok agama.
Tapi ada juga golongan yang dengan sengaja dimasuki seperti perkumpulan olah
raga, serikat pekerja, koperasi, organisasi politik, perkumpulan kesenian dan
lain-lain. Melalui kelompok-kelompok inilah pendidikan non formal dilakukan.
Pendidikan non formal dapat menjadi pelengkap dari pendidikan formal, terlebih
jika dikaitkan dengan keterbatasan-keterbatasan yang diakibatkan karena adanya
krisis.
Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sejalan dengan itu, sistem pendidikan
nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan
mutu serta relevansi dan efisiensi manajamen pendidikan sesuai dengan tuntutan
perubahan kehidupan lokal, nasional dan global sehinga perlu dilakukan
pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan.
Penyelenggaraan pendidikan nonformal (PNF)
merupakan upaya dalam rangka mendukung perluasan akses dan peningkatan mutu
layanan pendidikan bagi masyarakat. Jenis layanan dan satuan pembelajaran PNF
sangat beragam, yaitu meliputi: (1) pendidikan kecakapan hidup, (2) pendidikan
anak usia dini, (3) pendidikan kesetaraan seperti Paket A, B, dan C, (4)
pendidikan keaksaraan, (5) pendidikan pemberdayaan perempuan, (6) pendidikan
keterampilan dan pelatihan kerja (kursus, magang, kelompok belajar usaha),
serta (7) pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta
didik.
Dalam situasi demikian, makna dibalik fenomena bermunculannya lembaga
pendidikan non formal sebenarnya lebih ingin memberikan ruang kesadaran baru
pada masyarakat, bahwa upaya pendidikan bukan sekedar kegiatan untuk meraih
sertifikasi atau legalitas semata. Lebih daripada itu, upaya pendidikan
sejatinya merupakan kegiatan penyerapan dan internalisasi ilmu, yang pada
akhirnya diharapkan mampu membawa peningkatan taraf kehidupan bagi individu
maupun masyarakat dalam berbagai aspek.
Keunggulan lain yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal
sebenarnya ada pada fleksibilitas waktu yang dimiliki. Selain bisa dijalankan
secara manunggal, pendidikan non formal bisa dijalankan pula secara
berdampingan dengan pendidikan formal. Tak mengherankan apabila belakangan
lembaga pendidikan non formal tumbuh dengan pesat, berbanding lurus dengan
tingginya minat masyarakat terhadap jenis pendidikan tersebut. Tidak hanya itu,
lembaga pendidikan non formal juga berpeluang untuk menghasilkan tenaga kerja
yang siap pakai. Hal ini terbukti dari banyaknya lembaga pendidikan non formal
seperti ADTC dan Macell Education Center (MEC) yang siap menyalurkan lulusan
terbaiknya ke berbagai perusahaan rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut dipertimbangkan
ditengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan seperti sekarang ini.
Antonius Sumarno (2001:98), juga menuturkan bahwa kemunculan lembaga
pendidikan non formal seperti lembaga pelatihan bahasa misalnya, sebenarnya
tidak hanya berfungsi untuk menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan di era
globalisasi. Setidaknya dengan penguasaan bahasa asing, individu akan
dimudahkan dalam melakukan penyerapan berbagai ilmu pengetahuan yang saat ini
hampir semua referensi terbarunya hanya tersedia dalam bahasa asing.
Selanjutnya keunggulan tersebut dapat pula memperluas peluang individu dalam
menangkap berbagai kesempatan. Hebatnya lagi, tersedia pula lembaga pendidikan
non formal yang tidak hanya membekali lulusannya dengan ilmu, namun juga
membekali sikap kemandirian yang mendorong terciptanya kesempatan untuk
berwirausaha. Ini merupakan bukti nyata upaya memperkuat struktur riil
perekonomian masyarakat yang belakangan makin terpuruk. Disaat banyak orang
kebingungan mencari pekerjaan, banyak lulusan lembaga pendidikan non formal
yang menciptakan lapangan pekerjaan. Namun dibalik semua keunggulan dan variasi
lembaga pendidikan non formal yang tersedia, kejelian masyarakat dalam memilih
lembaga pendidikan non formal sebagai wahana untuk mengasah keterampilan dan menyiapkan
diri dalam menghadapi persaingan penting untuk dipertahankan. Indikator yang
paling sederhana adalah seberapa besar kesesuian bidang pelatihan yang
ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal dengan minat maupun bidang yang
saat ini kita geluti.
Tujuannya, tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari pelatihan
lembaga pendidikan non formal dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi
minat dan dunia yang kita geluti, serta meningkatkan keunggulan kompetitif yang
kita miliki. Lebih lanjut, kejelian dalam memilih juga berfungsi pula agar
investasi finansial yang telah ditanamkan tidak terbuang percuma karena program
yang sedang dijalani "terhenti di tengah jalan".
Pendidikan non formal diharapkan
dapat mengatasi pelbagai problematika kehidupan. Seperti diungkapkan Buchari
(1994 :27) : “Apa yang harus kita lakukan, agar kegiatan-kegiatan pendidikan
non formal yang kita selenggarakan benar-benar membawa kemajuan yang berarti,
yaitu kemajuan yang lebih besar daripada pembengkakan berbagai problematika
yang di hadapi, dan tidak kalah pula pesatnya dibandingkan dengan laju kemajuan
yang dicapai oleh negara-negara lain”. Pendidikan melalui lingkungan masyarakat
atau pendidikan non formal memiliki berbagai nama, seperti adult education (pendidikan orang dewasa), continuing education (pendidikan lanjutan), on-the-job training (latihan kerja), accelerated training (latihan dipercepat), farmer or worker training (latihan pekerja atau petani), dan extension service (pelayanan pendidikan
tambahan) dan dianggap sebagai sistem bayangan (shadow system).
Pelaksanaan pendidikan non formal dapat dilihat perbedaannya pada kasus negara industri dan negara berkembang. Pada negara maju seperti di Eropa dan Amerika Utara pendidikan non formal dipandang sebagai pendidikan lanjutan bagi kehidupan seseorang. Pendidikan seumur hidup sangat berarti dalam memajukan dan mengubah masyarakat karena tiga alasan : (1) untuk memperoleh pekerjaan ; (2) menjaga ketersediaan tenaga kerja terlatih dengan teknologi dan pengetahuan baru yang diperlukan untuk melanjutkan produktivitas; (3) memperbaiki kualitas dan kenyamanan hidup individu melalui pengayaan kebudayaan dengan memanfaatkan waktu luang. Dalam perspektif ini, maka pendidikan lanjutan bagi guru memiliki arti strategis, jika gagal memberikan mereka pengetahuan yang mutakhir, maka mereka akan “memberikan pendidikan kemarin bagi generasi esok”.
Pelaksanaan pendidikan non formal dapat dilihat perbedaannya pada kasus negara industri dan negara berkembang. Pada negara maju seperti di Eropa dan Amerika Utara pendidikan non formal dipandang sebagai pendidikan lanjutan bagi kehidupan seseorang. Pendidikan seumur hidup sangat berarti dalam memajukan dan mengubah masyarakat karena tiga alasan : (1) untuk memperoleh pekerjaan ; (2) menjaga ketersediaan tenaga kerja terlatih dengan teknologi dan pengetahuan baru yang diperlukan untuk melanjutkan produktivitas; (3) memperbaiki kualitas dan kenyamanan hidup individu melalui pengayaan kebudayaan dengan memanfaatkan waktu luang. Dalam perspektif ini, maka pendidikan lanjutan bagi guru memiliki arti strategis, jika gagal memberikan mereka pengetahuan yang mutakhir, maka mereka akan “memberikan pendidikan kemarin bagi generasi esok”.
Pada negara yang sedang berkembang,
pendidikan non formal berperan untuk mendidik begitu banyak petani, pekerja,
usahawan kecil dan lainnya yang tidak sempat bersekolah dan mungkin tidak
memiliki keterampilan maupun pengetahuan yang dapat diamalkan bagi dirinya
sendiri maupun bagi pembangunan bangsanya. Peran lainnya adalah untuk
meningkatkan kemampuan dari orang-orang yang memiliki kualifikasi seperti
contohnya guru dan lainnya untuk bekerja di sektor swasta dan pemerintah, agar
mereka bekerja lebih efektif. Di Tanzania non formal berperan untuk
menyelamatkan investasi pendidikan dari mereka yang tamat sekolah maupun drop out
dari sekolah menengah, namun tidak memperoleh pekerjaan, dengan memberikan
kepada mereka pelatihan-pelatihan khusus (Coombs, 1968 : 143). Di Indonesia pendidikan non fornal mencakup
pendidikan orang dewasa yang bertujuan agar bangsa Indonesia kenal huruf; dapat
memenuhi kewajibannya sebagai orang dewasa; mempergunakan segala sumber
penghidupan yang ada; berkembang secara dinamis dan kuat; serta tumbuh atas
dasar kebudayaan nasional . Tujuan yang sudah digariskan pada peta pendidikan
sejak 27 Desember 1945 oleh BPKNIP ini (Poerbakawatja dan Harahap, 1981:270)
masih memiliki relevansi hingga kini apalagi dalam menghadapi menghadapi
globalisasi.
Konsep awal
dari Pendidikan Non Formal ini muncul sekitar akhir tahun 60-an hingga awal
tahun 70-an. Philip Coombs dan Manzoor A., P.H. (1985) dalam bukunya The World Crisis In Education
mengungkapkan pendidikan itu pada dasarnya dibagi menjadi tiga jenis, yakni
Pendidikan Formal (PF), Pendidikan Non Formal (PNF) dan Pendidikan In Formal
(PIF). Khusus untuk PNF, Coombs mengartikannya sebagai sebuah kegiatan yang
diorganisasikan diluar system persekolahan yang mapan, apakah dilakukan secara
terpisah atau bagian terpenting dari kegiatan yang lebih luas dilakukan secara
sengaja untuk melayani anak didik tertentu untuk mencapai tujuan belajarnya.
Penjelasan yang sama terdapat pula di
UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN), dimana disana
dijelaskan bahwa pendidikan diselenggaran di dua jalur, yakni jalur sekolah
(pendidikan formal) dan jalur luar sekolah (PNF dan PIF). Dalam perubahan UU
tentang SPN yang diperbaharui menjadi UU Nomor 20 Tahun 2003, istilah jalur
pendidikan sekolah dan pendidilan luar sekolah berubah menjadi system PF, PNF
dan PIF. “Dalam UU ini dijelaskan bahwa PNF adalah jalur pendidikan diluar PF
yang dapat dilaksanakan secata terstruktur dan berjenjang. Sedangkan PIF
merupakan jalur pendidikan keluarga dan lingkungan,” terang Syukri (1997:34).
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 26
ayat 1 dijelaskan bahwa Pendidikan Non Formal
diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan
yang berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/atau pelengkap PF dalam rangka
mendukung pendidikan sepanjang hayat. Lebih lanjut dalam ayat 2 dijelaskan
Pendidikan Non Formal berfungsi
mengembangkan potensi peserta didik (warga belajar) dengan penekanan pada penguasaan
pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan
kepribadian professional. Sementara di ayat 3, disana disebutkan bahwa Pendidikan
Non Formal meliputi pendidikan kecakapan
hidup (life skills); pendidikan anak
usia dini; pendidikan kepemudaan; pendidikan pemberdayaan perempuan; pendidikan
keaksaraan; pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja; pendidikan kesetaraan;
serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta
didik.
Ditilik dari satuan pendidikannya,
pelaksanaan Pendidikan Non Formal terdiri
dari kursus; lembaga pelatihan; kelompok belajar; Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat (PKBM); majelis taklim; serta satuan pendidikan yang sejenis (pasal
26 ayat 4). Disamping itu, dalam pasal 26 ayat 5, disana dijelaskan bahwa
kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal
pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan
profesi, bekerja, usaha mandiri dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi. Hasil pendidikan keaksaraan dapat dihargai setara dengan hasil
program PF setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang
ditunjuk oleh pemerintah atau pemda dengan mengacu pada SPN (pasal 26 ayat 6).
B. Sasaran dan Karakteristik Pendidikan Non Formal.
Sasaran Pendidikan Non Formal dapat ditinjau dari beberapa segi, yakni pelayanan,
sasaran khusus, pranata sistem pengajaran dan pelembagaan program. Ditilik dari
segi pelayanan, sasaran Pendidikan Non Formal
adalah melayani anak usia sekolah (0-6 tahun), anak usia sekolah dasar
(7-12 tahun), anak usia pendidikan menengah (13-18 tahun), anak usia perguruan
tinggi (19-24 tahun). Ditinjau dari segi sasaran khusus, Pendidikan Non
Formal mendidik anak terlantar, anak
yatim piatu, korban narkoba, perempuan penghibur, anak cacat mentau maupun
cacat tubuh. Dari segi pranata, penyelenggaraan kegiatan pembelajaran dilakukan
dilingkungan keluarga, pendidikan perluasan wawasan desa dan pendidikan
keterampilan. Di segi layanan masyarakat, sasaran Pendidikan Non Formal antara lain membantu masyarakat melalui
program PKK, KB, perawatan bayi, peningkatan gizi keluarga, pengetahuan rumah
tangga dan penjagaan lingkungan sehat. Dilihat dari segi pengajaran, sasaran Pendidikan
Non Formal sebagai penyelenggara dan
pelaksana program kelompok, organisasi dan lembaga pendidikan, program kesenian
tradisional ataupun kesenian modern lainnya yaitu menjadi fasilitator bahkan
turut serta dalam program keagamaan, seperti mengisi pengajaran di majelis
taklim, di pondok pesantren, dan bahkan di beberapa tempat kursus. Sedangkan
sasaran Pendidikan Non Formal ditinjau
dari segi pelembagaan, yakni kemitraan atau bermitra dengan berbagai pihak penyelenggara
program pemberdayaan masyarakat berkoordinasi dengan desa atau pelaksana
program pembangunan.
Bagaimana
dengan karakteristik Pendidikan Non Formal? Secara khusus Pendidikan Non Formal memiliki spesifikasi yang ‘unik’ dibanding
pendidikan sekolah, terutama dari berbagai aspek yang dicakupinya. Ini terlihat
dari tujuan Pendidikan Non Formal , yakni memenuhi kebutuhan belajar tertentu
yang fungsional bagi kehidupan masa kini dan masa depan, dimana dalam
pelaksanananya tidak terlalu menekankan pada ijazah. Dalam waktu pelaksanannya,
Pendidikan Non Formal terbilang relatif
singkat, menekankan pada kebutuhan di masa sekarang dan masa yang akan datang
serta tidak penuh dalam menggunakan waktu alias tidak terus menerus.
Isi dari
program Pendidikan Non Formal ini berpedolam pada kurikulum pusat pada
kepentingan peserta didik (warga belajar), mengutamakan aplikasi dimana
menekanannya terletak pada keterampilan yang bernilai guna bagi kehidupan
peserta didik dan lingkungannya. Soal persyaratan masuk Pendidikan Non Formal,
hal itu ditetapkan berdasarkan hasil kesepakatan bersama antara sesama peserta
didik. Proses belajar mengajar dalam Pendidikan Non Formal pun relative lebih fleksibel, artinya
diselenggarakan di lingkungan masyarakat dan keluarga.
C. Peranan Keluarga dan Lingkungan
Bagi
anak usia dini, orangtua merupakan guru yang terpenting dan rumah tangga
merupakan lingkungan belajar utamanya. Harus diingat bahwa fungsi PAUD bukan
sekedar untuk memberikan berbagai pengetahuan kepada anak melainkan yang tidak
kalah pentingnya adalah untuk mengajak anak berpikir, bereksplorasi, bergaul,
berekspresi, berimajinasi tentang berbagai hal yang dapat merangsang
pertumbuhan sinaps baru dan memperkuat yang telah ada serta menyeimbangkan
berfungsinya kedua belahan otak (Jalal, 2002: 15). Oleh karena itu lingkungan
yang baik untuk PAUD adalah lingkungan yang mendukung anak melakukan kegiatan
tersebut. Selama ini ada anggapan bahwa lingkungan yang baik adalah ruangan
yang berdinding putih, bersih, dan tenang. Sebuah anggapan yang keliru karena
ruangan tanpa rangsangan semacam itu justru menghambat perkembangan anak.
Memang
benar bahwa faktor bawaan juga berpengaruh terhadap kecerdasan seseorang tetapi
pengaruh lingkungan juga merupakan faktor yang tidak kalah pentingnya. Jika
faktor bawaan dimisalkan sebagai dasar maka faktor lingkungan merupakan
pengembangannya. Tanpa diperkaya oleh lingkungan, modal dasar tersebut tidak
akan berkembang bahkan bisa jadi menyusut.
Jika
orangtua karena satu dan lain hal tidak melaksanakan fungsinya sebagai
pendidik, fungsi ini dapat dialihkan (sebagian) kepada pengasuh, lembaga
pendidikan/penitipan anak, lingkungan atau siapa saja yang mampu berperan
sebagai pengganti. Peran pengganti ini dapat dilakukan baik di lingkungan keluarganya
(pengasuh) atau di luar lingkungan keluarga (KB, TPA & lembaga PAUD
sejenis).
Menciptakan
lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak adalah sangat penting.
Pengaturan lingkungan yang membuat anak dapat bergerak bebas dan aman untuk
bereksplorasi merupakan kondisi yang sangat baik bagi perkembangan anak, anak
dapat meningkatkan daya imajinasi dan kreativitas serta diperolehnya
pengalaman-pengalaman baru.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sangat
penting dan mendasar sebab merupakan hulu dalam pengembangan sumber daya
manusia. Periode emas dalam tumbuh kembang anak hanya terjadi sekali dalam
kehidupan manusia yang dimulai sejak lahir hingga usia delapan tahun.
Penelitian di bidang neurologi mengungkapkan bahwa perkembangan kecerdasan anak
50% terjadi pada empat tahun pertama kemudian mencapai 80% hingga usia delapan
tahun dan akhirnya 100% pada usia 18 tahun.
Anak-anak yang berada pada rentang usia
dini yang memperoleh asupan pendidikan masih sangat minim. Anak usia 0 – 6
tahun berjumlah 26,09 juta akan tetapi yang terlayani dalam PAUD di jalur
pendidikan formal (TK/RA) baru sekitar dua juta anak sehingga peran pendidikan non
formal dalam membantu mengatasi masalah tersebut sangat penting dan mendesak.
Kurangnya anak usia dini yang
mendapatkan layanan pendidikan disebabkan beberapa faktor diantaranya: (1)
kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan pada anak usia dini;
(2) masih terbatas dan tidak meratanya lembaga layanan PAUD yang ada di
masyarakat terutama di pedesaan. Sebagai contoh pertumbuhan TK, KB/RA, dan TPA
di perkotaan lebih pesat dibandingkan di pedesaan; (3) rendahnya dukungan
pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Terdapat 41.317
buah TK di seluruh Indonesia, hanya 225 buah (0.54%) TK yang didirikan oleh
pemerintah, selebihnya dibangun oleh swasta.
B. Saran
Sangat
diperlukan sekali kesadaran dan kepedulian dari berbagai kalangan baik dari
pemerintah, pihak sekolah maupun para orang tua. Dimana kesemuanya (
pemerintah, pihak sekolah, orang tua ) sangat berpengaruh terhadap jumlah anak
yang akan putus sekolah
DAFTAR PUSTAKA
Abdulhak,
Ishak. (2002). “Memposisikan Pendidikan Anak Dini Usia Dalam Sistem Pendidikan
Nasional”. Buletin Padu Jurnal Ilmiah
Anak Dini Usia. 03. 54 – 59.
Anwar dan
Ahmad, Arsyad. 2007. Pendidikan Anak
Dini Usia. Bandung: Alfabeta.
Asfandiyar,
Andi Yudha. 2009. Kenapa Guru Harus Kreatif?. Jakarta:
Mizan Media Utama.
CHA, Wahyudi dan
Damayanti, Dwi Retna. 2005. Program Pendidikan Untuk Anak Usia Dini di
Prasekolah Islam. Jakarta: Grasindo.
Depdikbud.
(1998). Petunjuk Kegiatan Belajar
Mengajar Taman Kanak-kanak. Jakarta: Depdikbud.
Depdiknas.
(2002). Sambutan Pengarahan Direktur Jenderal PLSP pada Lokakarya Pengembangan
Program PADU, Jakarta.
Depdiknas.
(2003). Bahan Sosialisasi
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.
Direktorat
Tenaga Teknis. (2003). Pertumbuhan dan
Perkembangan Anak Usia 0 – 6 Tahun. Jakarta: Ditjen PLSP – Depdiknas.
Direktorat
PADU. (2001). Informasi Tentang
Pendidikan Anak Dini Usia Pendidikan Prasekolah Pada Jalur Pendidikan Luar
Sekolah. Jakarta: Direktorat PADU -Ditjen PLSP – Depdiknas.
Direktorat
PADU. (2002). Acuan Menu Pembelajaran
pada Pendidikan Anak Dini Usia (Menu Pembelajaran Generik). Jakarta:
Direktorat PADU - Ditjen PLSP – Depdiknas.
Direktorat
PADU. (2003). Model PADU Terintegrasi
Posyandu. Jakarta: Direktorat PADU - Ditjen PLSP – Depdiknas.
Gutama. (2003).
“Kebijakan Direktorat Pendidikan Anak Dini Usia (PADU)”. Makalah pada Pelatihan
Penyelenggara Program PADU, Bandung.
Hadis, Fawzia
Aswin. (2002). “Strategi Sosialisasi Dalam Memberdayakan Masyarakat”. Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03.
25 – 28.
Indrawati, Maya
dan Nugroho, Wido. 2006. Mendidik dan Membesarkan Anak Usia
Pra-Sekolah. Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher.
Isjoni. 2007. Saatnya Pendidikan Kita Bangkit.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jalal, Fasli.
(2002). “Meningkatkan Kesadaran Masyarakat Akan Pentingnya PADU”. Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03.
9 – 18.
Rosadi,
Damanhuri. (2002). “Pendidikan Anak Dini Usia Dalam Kerangka Otonomi
Daerah". Buletin Padu Jurnal
Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 60 – 72.
Sudjana, D.
(2001). Pendidikan Luar Sekolah.
Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falasafah, Teori Pendukung, Asas.
Bandung: Penerbit Falah Production.