BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bagi
warga Negara yang tidak semangat mengikuti ataupun menyelesaikan pendidikan
pada jenjang tertentu dalam pendidikan formal (putus sekolah) disediakan
pendidikan nonformal untuk memperoleh bekal guna terjun ke masyarakat.
Pendidikan non formal sebagai mitra pendidikan formal semakin hari semakin
berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat dan ketenaga kerjaan. Dilihat dari segi wujud
dan penyelenggaraan semakin beraneka ragam mulai dari peguyuban, sarasehan,
kursus-kursus, paket A, B sampai kepada gerakan-gerakan seperti PKK dengan
aneka programnya. Disampaikan ragamnya yang bertambah, juga kualitasnya
mengalami meningkatkan.
Selanjutnya
ada juga pendidikan formal sebagai suatu fase pendidikan yang berada disamping
dan di dalam pendidikan-pendidikan formal dan nonformal sangat menunjang
keduanya. Sebenarnya tidak sulit untuk dipahami karena sebagian besar waktu
peserta didika adalah justru berada di dalam.
B.
Rumusan Masalah
a. Pendidikan
Nonformal
b. Pendidikan
Nonformal Berbasis Masyarakat
c. Pendidikan
Formal
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Nonformal
Kesulitan
Dan tantangan dalam kehidupan manusia baik yang diakibatkan oleh lingkungan
maupun alam yang kurang bersahabat, sering memaksa manusia untuk mencari cara
yang memungkinkan mereka untuk keluar dari kesulitan yang dialaminya. Masih
banyaknya warga yang tidak melanjutkan pendidikan ke taraf yang memungkinkan
mereka menggeluti profesi tertentu, menuntut upaya-upaya untuk membantu mereka
dalam mewujudkan potensi yang dimilikinya agar dapat bermanfaat bagi
pembangunan bangsa.
Sejauh
ini, anggran yang berkaitan dengan pendidikan mereka masih terbatas, sehingga
berbagai upaya untuk dapat terus mendorong keterlibatan masyarakat dalam
membangun pendidikan terus dilakukan oleh pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar
makin tumbuh kesadaran akan pentingnya pendidikan dan mendorong masyarakat
untuk terus berpartisipasi aktif di dalamnya.
Bertitik
tolak dari permasalahan yang dihadapi, pendidikan luar sekolah berusaha mencari
jawaban dengan menelusuri pola-pola pendidikan yang ada, seperti pesantren, dan
pendidikan keagamaan lainnya yang keberadaannya sudah jauh sebelum Indonesia
merdeka, bertahan hidup sampai sekarang dan dicintai, dihargai dan diminati
serta berakar dalam masyarakat. Kelanggengan lembaga-lembaga tersebut karena
tumbuh dan berkembang, dibiayai dan dikelola oleh dan untuk kepentingan
masyarakat. Di sisi lain, masyarakat merasakan adanya kebermaknaan dari
program-program belajar yang disajikan bagi kehidupannya, karena pendidikan
yang diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nyata masyarakat.
Dalam
hubungan ini pendidikan termasuk pendidikan nonformal yang berbasis kepentingan
masyarakat lainnya, perlu mencermati hal tersebut, agar keberadaannya dapat
diterima dan dikembangkan sejalan dengan tuntutan masyarakat berkaitan dengan
kepentingan hidup mereka dalam mengisi upaya pembangunan di masyarakatnya. Ini
berarti bahwa pendidikan nonformal perlu menjadikan masyarakat sebagai sumber
atau rujukan dalam penyelenggaaraan program pendidikannya.
Hasil
kajian Tim reformasi pendidikan dalam konteks Otonomi daerah (Fasli Jalal, Dedi
Supriadi. 2001) dapat disimpulkan bahwa apabila pendidikan luar sekolah
(pendidikan nonformal) ingin melayani, dicintai, dan dicari masyarakat, maka
mereka harus berani meniru apa yang baik dari apa yang tumbuh di masyarakat dan
kemudian diperkaya dengan sentuhan-sentuhan yang sistematis dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan lingkungan masyarakatnya. Strategi
itulah yang perlu terus dikembangkan dan dilaksanakan oleh pendidikan luar
sekolah dalam membantu menyediakan pendidikan bagi masyarakat yang karena
berbagai hal tidak terlayani oleh jalur formal/sekolah.
Bagi
masyarakat yang tidak mampu, apa yang mereka pikirkan adalah bagaimana hidup
hari ini, karena itu mereka belajar untuk kehidupan; mereka tidak mau belajar
hanya untuk belajar, untuk itu masyarakat perlu didorong untuk mengembangkannya
melalui Pendidikan nonformal berbasis masyarakat, yakni pendidikan nonformal
dari, oleh dan untuk kepentingan masyarakat
B. Pendidikan nonformal berbasis
masyarakat
Pendidikan
berbasis masyarakat (communihy-based education) merupakan mekanisme yang
memberikan peluang bagi setiap orang untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan
teknologi melalui pembelajaran seumur hidup. Kemunculan paradigma pendidikan
berbasis masyarakat dipicu oleh arus besar modernisasi yang menghendaki
terciptanya demokratisasi dalam segala dimensi kehidupan manusia, termasuk di
bidang pendidikan. Mau tak mau pendidikan harus dikelola secara desentralisasi
dengan memberikan tempat seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat.~
Sebagai
implikasinya, pendidikan menjadi usaha kolaboratif yang melibatkan partisipasi
masyarakat di dalamnva. Partisipasi pada konteks ini berupa kerja sama antara
warga dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, menjaga dan
mengembangkan aktivitas pendidikaan. Sebagai sebuah kerja sama, maka masvarakat
diasumsi mempunyai aspirasi yang harus diakomodasi dalam perencanaan dan
pelaksanaan suatu program pendidikan.
1. Konsep Pendidikan Berbasis
Masyarakat
Pendidikan
berbasis masyarakat merupakan perwujudan demokratisasi pendidikan melalui
perluasan pelayanan pendidikan untuk kepentingan masyarakat. Pendidikan
berbasis masyarakat menjadi sebuah gerakan penyadaran masyarakat untuk terus
belajar sepanjang hayat dalam mengsi tantangan kehidupan yang berubah-ubah.
Secara
konseptual, pendidikan berbasis masyarakat adalah model penyelenggaraan
pendidikan yang bertumpu pada prinsip “dari masyarakat, oleh masyarakat dan
untuk masyarakat”. Pendidikan dari masyarakat artinya pendidik memberikan
jawaban atas kebutuhan masyarakat. pendidikan oleh masyarakat artinya
masyarakat ditempatkan sebagai subyek/pelaku pendidikan, bukan objek
pendidikan. Pada konteks ini, masyarakat dituntut peran dan partisipasi
aktifnya dalam setiap program pendidikan. Adapun pengertian pendidikan untuk
masyarakat artinya masyarakat diikutsertakan dalam semua program yang dirancang
untuk menjawab kebutullan mereka. Secara singkat dikatakan, masyarakat perlu
diberdayakan, diberi Peluang dan kebebasan untuk merddesain, merencanakan,
membiayai, mengelola dan menilai sendiri apa yang diperlukan secara spesifik di
dalam, untuk dan oleh masyarakat sendiri.
Di
dalam Undang-undang no 20/2003 pasal 1 ayat 16, arti dari pendidikan berbasis
masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama,
sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan
dari, oleh, dan untuk masyarakat. Dengan demikian nampak bahwa pendidikan
berbasis masyarakat pada dasarnya merupakan suatu pendidikan yang memberikan
kemandirian dan kebebasan pada masyarakat untuk menentukan bidang pendidikan
yang sesuai dengan keinginan masyarakat itu sendiri.
Sementara
itu dilingkungan akademik para akhli juga memberikan batasan pendidikan
berbasis masyarakat. Menurut Michael W. Galbraith, community-based education
could be defined as an educational process by which individuals (in this case
adults) become more corrtpetent in their skills, attitudes, and concepts in an
effort to live in and gain more control over local aspects of their communities
through democratic participation. Artinya, pendidikan berbasis masvarakat dapat
diartikan sebagai proses pendidikan di mana individu-individu atau orang dewasa
menjadi lebih berkompeten dalam ketrampilan, sikap, dan konsep mereka dalam
upaya untuk hidup dan mengontrol aspek-aspek lokal dari masyarakatnya melalui
partisipasi demokratis. Pendapat lebih luas tentang pendidikan berbasis
masyarakat dikemukakan oleh Mark K. Smith sebagai berikut:
Bahwa
pendidikan berbasis masyarakat adalah sebuah proses yang didesain untuk
memperkaya kehidupan individual dan kelompok dengan mengikutsertakan
orang-orang dalam wilayah geografi, atau berbagi mengenai kepentingan umum,
untuk mengembangkan dengan sukarela tempat pembelajaran, tindakan, dan kesempatan
refleksi yang ditentukan oleh pribadi, sosial, ekonomi, dan kebutuhan politik
mereka.
Dengan
demikian, pendekatan pendidikan berbasis masyarakat adalah salah satu
pendekatan yang menganggap masyarakat sebagai agen sekaligus tujuan, melihat
pendidikan sebagai proses dan menganggap masyarakat sebagai fasilitator yang
dapat menyebabkan perubahan menjadi lebih balk. Dari sini dapat ditarik
pemahaman bahwa pendidikan dianggap berbasis masyarakat jika tanggung jawab
perencanaan hingga pelaksanaan berada di tangan masyarakat. Pendidikan berbasis
masyarakat bekerja atas asumsi bahwa setiap masyarakat secara fitrah telah
dibekali potensi untuk mengatasi masalahnya sendiri. Baik masyarakat kota
ataupun desa, mereka telah memiliki potensi untuk mengatasi masalah mereka
sendiri berdasarkan sumber daya vang mereka miliki serta dengan memobilisasi
aksi bersama untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi.
Dalam
UU sisdiknas no 20/2003 pasal 55 tentang Pendidikan Berbasis Masyarakat
disebutkan sebagai berikut :
1. Masyarakat
berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal
dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk
kepentingan masyarakat.
2. Penyelenggara
pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan
evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanannya sesuai dengan standar
nasional pendidikan.
3. Dana
penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber-dari
penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain
yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan-yang berlaku.
4. Lembaga
pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana,
dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah.
5. Ketentuan
mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dari
kutipan di atas nampak bahwa pendidikan berbasis masyarakat dapat
diselenggarakan dalam jalur formal maupun nonformal, serta dasar dari
pendidikan berbasis masyarakat adalah kebutuhan dan kondisi masyarakat, serta
masyarakat diberi kewenangan yang luas untuk mengelolanya. Oleh karena itu
dalam menyelenggarakannya perlu memperhatikan tujuan yang sesuai dengan
kepentingan masyarakat setempat.
Untuk
itu Tujuan dari pendidikan nonformal berbasis masyarakat dapat mengarah pada
isu-isu masyarakat yang khusus seperti pelatihan karir, perhatian terhadap
lingkungan, budaya dan sejarah etnis, kebijakan pemerintah, pendidikan politik
dan kewarganegaraan, pendidikan keagamaan, pendidikan bertani, penanganan
masalah kesehatan serti korban narkotika, HIV/Aids dan sejenisnya. Sementara
itu lembaga yang memberikan pendidikan kemasyarakat bisa dari kalangan bisnis
dan industri, lembaga-lembaga berbasis masyarakat, perhimpunan petani, organisi
kesehatan, organisasi pelayanan kemanusiaan, organisi buruh, perpustakaan,
museum, organisasi persaudaraan sosial, lembaga-lembaga keagamaan dan lain-lain
.
2. Pendidikan Nonformal Berbasis
Masyarakat
Model
pendidikan berbasis masyarakat untuk konteks Indonesia kini semakin diakui
keberadaannya pasca pemberlakuan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Keberadaan lembaga ini diatur pada 26 ayat 1 s/d 7. jalur yang
digunakan bisa formal dan atau nonformal.
Dalam
hubungan ini, pendidikan nonformal berbasis masyarakat adalah pendidikan
nonformal yang diselenggarakan oleh warga masyarakat yang memerlukan layanan
pendidikan dan berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/pelengkap pendidikan
formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal
berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pengetahuan dan
keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian fungsional.
Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia
dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan
keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan
serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta
didik. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga
pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan masyarakat, majelis taklirn serta
satuan pendidikan yang sejenis.
Dengan
demikian, nampak bahwa pendidikan nonformal pada dasarnya lebih cenderung
mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat yang merupakan sebuah proses dan
program, yang secara esensial, berkembangnya pendidikan nonformal berbasis
masyarakat akan sejalan dengan munculnya kesadaran tentang bagaimana
hubungan-hubungan sosial bisa membantu pengembangan interaksi sosial yang
membangkitkan concern terhadap pembelajaran berkaitan dengan masalah yang
dihadapi masyarakat dalam kehidupan sosial, politik,, lingkungan, ekonomi dan faktor-faktor
lain. Sementara pendidikan berbasis masyarakat sebagai program harus
berlandaskan pada keyakinan dasar bahwa partisipasi aktif dari warga masyarakat
adalah hal yang pokok. Untuk memenuhinya, maka partisipasi warga harus didasari
kebebasan tanpa tekanan dalam kemampuan berpartisipasi dan keingin
berpartisipasi.
3. Pinsip-prinsip Pendidikan
Berbasis Masyarakat
Menurut
Michael W. Galbraith pendidikan berbasis masyarakat memiliki prinsip-prinsip
sebagai berikut:
•
Self determination (menentukan sendiri). Semua anggota masyarakat memiliki hak
dan tanggung jawab untuk terlibat dalam menentukan kebutuhan masyarakat dan
mengidentifikasi sumber-sumber masyarakat yang bisa digunakan untuk merumuskan
kebutuhan tersebut.
•
Self help (menolong diri sendiri) Anggota masyarakat dilayani dengan baik
ketika kemampuan mereka untuk menolong diri mereka sendiri telah didorong dan
dikembangkaii. Mereka menjadi bagian dari solusi dan membangun kemandirian
lebih baik bukan tergantung karena mereka beranggapan bahwa tanggung jawab
adalah untuk kesejahteraan mereka sendiri.
•
Leadership development (pengembangan kepemimpinan) Para pemimpin lokal harus
dilatih dalam berbagai ketrampilan untuk memecahkan masalah, membuat keputusan,
dan proses kelompok sebagai cara untuk menolong diri mereka sendiri secara
terus-menerus dan sebagai upaya mengembangkan masyarakat.
•
Localization (lokalisasi). Potensi terbesar unhik tingkat partisipasi
masyarakat tinggi terjadi ketika masyarakat diberi kesempatan dalam pelayanan,
program dan kesempatan terlibat dekat dengan kehidupan tempat masyarakat hidup.
•
Integrated delivery of service (keterpaduan pemberian pelayanan) Adanya
hubungan antaragensi di antara masyarakat dan agen-agen yang menjalankan
pelayanan publik dalam memenuhi tujuan dan pelayanan publik yang lebih baik.
•
Reduce duplication of service. Pelayanan Masyarakat seharusnya memanfaatkan
secara penuh sumber-sumber fisik, keuangan dan sumber dava manusia dalam
lokalitas mereka dan mengoordinir usaha mereka tanpa duplikasi pelayanan.
•
Accept diversity (menerima perbedaan) Menghindari pemisahan masyarakat
berdasarkan usia, pendapatan, kelas sosial, jenis kelamin, ras, etnis, agama
atau keadaan yang menghalangi pengembangan masyarakat secara menyeluruh. Ini
berarti pelibatan warga masyarakat perlu dilakukan seluas mungkin dan mereka
dosorong/dituntut untuk aktif dalam pengembangan, perencanaan dan pelaksanaan
program pelayanan dan aktifitas-aktifitas kemasyarakatan.
•
Institutional responsiveness (tanggung jawab kelembagaan) Pelayanan terhadap
kebutuhan masyarakat yang berubah secara terus-menerus adalah sebuah kewajiban
dari lembaga publik sejak mereka terbentuk untuk melayani masyarakat. Lembaga
harus dapat dengan cepat merespon berbagai perubahan yang terjadi dalam
masyarakat agar manfaat lembaga akan terus dapat dirasakan.
•
Lifelong learning (pembelajaran seumur hidup) Kesempatan pembelajaran formal
dan informal harus tersedia bagi anggota masyarakat untuk semua umur dalam
berbagai jenis latar belakang masyarakat.
Dalam
perkembangannya, community-based education merupakan sebuah gerakan nasional di
negara berkemang seperti Indonesia. community-based education diharapkan dapat
menjadi salah satu fondasi dalam mewujudkan masyarakat madani (civil society).
Dengan sendirinya, manajemen penndidikan yang berdasarkan pada community-based
education akan menampilkan wajah sebagai lembaga pendidikan dari masyarakat.
Untuk melaksanakan paradigma pendidikan berbasis masyarakat pada jalur
nonformal setidak-tidaknva mempersyaratkan lima hal (Sudjana. 1984). pertama,
teknologi yang digunakan hendaknya sesuai dengan kondisi dan situasi nyata yang
ada di masyarakat. Teknologi yang canggih yang diperkenalkan dan adakalanya
dipaksakan sering berubah menjadi pengarbitan masyarakat yang akibatnva tidak digunakan
sebab kehadiran teknologi ini bukan karena dibutuhkan, melainkan karena
dipaksakan. Hal ini membuat masyarakat menjadi rapuh. Kedua, ada lembaga atau
wadah yang statusnya jelas dimiliki atau dipinjam, dikelola, dan dikembangkan
oleh masyarakat. Di sini dituntut adanya partisipasi masyarakat dalam
peencanaan, pengadaan, penggunaan, dan pemeliharaan pendidikan luar sekolah.
Ketiga, program belajar yang akan dilakukan harus bernilai sosial atau harus
bermakna bagi kehidupan peserta didik atau warga belajar dalam berperan di
masyarakat. Oleh karena itu, perancangannya harus didasarkan pada potensi
lingkungan dan berorientasi pasar, bukan berorientasi akademik semata.
Keempat,
program belajar harus menjadi milik masyarakat, bukan milik instansi pemerintah.
Hal ini perlu ditekankan karena bercermin pada pengalaman selama ini bahwa
lembaga pendidikan yang dimiliki oleh instansi pemerintah terbukti belum mampu
membangkitkan partisipasi masyarakat. Yang terjadi hanyalah pemaksaan program,
karena semua program pendidikan dirancang oleh instansi yang bersangkutan.
Kelima, aparat pendidikan luar sekolah/nonformal tidak menangani sendiri
programnya, namun bermitra dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan.
Organisasi-organisasi kemasyarakatan ini yang menjadi pelaksana dan mitra
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan belajar mereka dan dalam berhubungan dengan
sumber-sumber pendukung program.
4. Pendidikan Berbasis Masyarakat
untuk pembangunan masyarakat
Dalam
upaya mendorong pada terwujudnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat, maka
diperlukan upaya untuk menjadikan pendidikan tersebut sebagai bagian dari upaya
membangun masyarakat. Dalam hal ini diperlukan pemahaman yang tepat akan
kondisi dan kebutuhan masyarakat.
Pembangunan/pengembangan
masyarakat, khususnya masyarakat desa merupakan suatu fondasi penting yang
dapat memperkuat dan mendorong makin meningkatnya pembangunan bangsa, oleh
karena itu pelibatan masyarakat dalam mengembangkan pendidikan nonformal dapat
menjadi suatu yang memberi makna besar bagi kelancaran pembangunan.
Pengembangan
masyarakat, pengembangan sosial atau pembangunan masyarakat sebagai
istilah-istilah yang dimaksud dalam pembahasan ini mengandung arti yang
bersamaan. Pengembangan masyarakat, terutama di daerah pedesaan, bila
dibandingkan dengan daerah perkotaan jelas menunjukan suatu ketimpangan,
sehingga memerlukan upaya yang lebih keras untuk mencoba lebih seimbang
diantara keduanya. pengembangan masyarakat, pengembangan sosial atau
pembangunan masyarakat tersebut menunjukkan suatu upaya yang disengaja dan
diorganisasi untuk memajukan manusia dalam seluruh aspek kehidupannya yang
dilakukan di dalam satu kesatuan Wilayah. Kesatuan wilayah itu bisa terdiri
dari daerah pedesaan atau daerah perkotaan.
Upaya
pembangunan ini bertujuan untuk terjadinya perubahan kualitas kehidupan manusia
dan kualitas wilayahnya atau lingkungannya ke arah yang lebih baik. Agar
pembangunan itu berhasil, maka pembangunan haruslah menjadi jawaban yang wajar
terhadap kebutuhan perorangan, masyarakat dan Pemerintah baik di tingkat desa,
daerah ataupun di tingkat nasional. Dengan demikian maka isi, kegiatan dan
tujuan pengembangan masyarakat akan erat kaitannya dengan pembangunan nasional.
TR
Batten menjelaskan bahwa pengembangan masyarakat ialah proses yang dilakukan
oleh masyarakat dengan usaha untuk pertama-tama mendiskusikan dan menentukan
kebutuhan atau keinginan mereka, kemudian merencanakan dan melaksanakan secara
bersama usaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka itu (Batten, 1961).
Dalam proses tersebut maka keterlibatan masyarakat dapat digambarkan sebagai
berikut. Tahap pertama, dengan atau tanpa bimbingan fihak lain, masyarakat
melakukan identifikasi masalah, kebutuhan, keinginan dan potensi-potensi yang
mereka miliki. Kemudian mereka mendiskusikan kebutuhan-kebutuhan mereka,
menginventarisasi kebutuhan-kebutuhan itu berdasarkan tingkat keperluan,
kepentingan dan mendesak tidaknya usaha pemenuhan kebutuhan. Dalam identifikasi
kebutuhan itu didiskusikan pula kebutuhan perorangan, kebutuhan masyarakat dan
kebutuhan Pemerintah di daerah itu. Mereka menyusun urutan prioritas kebutuhan
itu sesuai dengan sumber dan potensi yang terdapat di daerah mereka. Tahap
kedua, mereka menjajagi kemungkinan-kemungkinan usaha atau kegiatan yang dapat
mereka lakukan, untuk memenuhi kebutuhan itu. apakah sesuai dengan
sumber-sumber yang ada dan dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan
hambatan yang akan dihadapi dalam kegiatan itu. Selanjutnya mereka menentukan
pilihan kegiatan atau usaha yang akan dilakukan bersama. Tahap ketiga, mereka
menentukan rencana kegiatan, yaitu program yang akan dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa memiliki dikalangan
masyarakat. Rasa pemilikan bersama itu menjadi prasarat timbulnya rasa tanggung
jawab bersama untuk keberhasilan usaha itu. Tahap keempat ialah melaksanakan
kegiatan. Dalam tahap keempat ini motivasi perlu dilakukan. Di samping itu
komunikasi antara pelaksana terus dibina. Dalam tahap pelaksanaan ini akan
terdapat masalah yang menuntut pemecahan. Pemecahan masalah itu dilakukan
setelah dirundingkan bersama oleh masyarakat dan para pelaksana. Tahap kelima,
penilaian terhadap proses pelaksanaan kegiatan, terhadap hasil kegiatan dan
terhadap pengaruh kegiatan itu. Untuk kegiatan yang berkelanjutan, hasil
evaluasi itu dijadikan salah satu masukan untuk tindak lanjut kegiatan atau
untuk bahan penyusunan program kegiatan baru. Semua tahapan kegiatan itu
dilakukan oleh masyarakat secara partisipatif. Pengembangan masyarakat yang
bertumpu pada kebutuhan dan tujuan pembangunan nasional itu memiliki dua jenis
tujuan. Tujuan-tujuan itu dapat digolongkan kepada tujuan umum dan tujuan
khusus. Tujuan umum dengan sendirinya mengarah dan bermuara pada tujuan
nasional, sedangkan tujuan khusus yaitu perubahan-perubahan yang dapat diukur
yang terjadi pada masyarakat. Perubahan itu menyangkut segi kualitas kehidupan
masyarakat itu sendiri setelah melalui program pengembangan masyarakat.
Perubahan itu berhubungan dengan peningkatan taraf hidup warga masyarakat dan
keterlibatannya dalam pembangunan. Dengan kata lain tujuan khusus itu
menegaskan adanya perubahan yang dicapai setelah dilakukan kegiatan bersama,
yaitu berupa perubahan tingkah laku warga masyarakat. Perubahan tingkah laku
ini pada dasarnya merupakan hasil edukasi dalam makna yang wajar dan luas,
yaitu adanya perubahan pengetahuan, ketrampilan, sikap dan aspirasi warga
masyarakat serta adanya penerapan tingkah laku itu untuk peningkatan kehidupan
mereka dan untuk peningkatan partisipasi dalam pembangunan masyarakat.
Partisipasi dalam pembangunan masyarakat itu bisa terdiri dari partisipasi buah
fikiran, harta benda, dan tenaga (Anwas Iskandar, 1975). Dalam makna yang lebih
luas maka tujuan pengembangan masyarakat pada dasarnya adalah pengembangan demokratisasi,
dinamisasi dan modernisasi (Suryadi, 1971).
Prinsip-prinsip
pengembangan masyarakat yang dikemukakan di sini ialah keterpaduan,
berkelanjutan, keserasian, kemampuan sendiri (swadaya dan gotong royong), dan
kaderisasi. Prinsip keterpaduan memberi tekanan bahwa kegiatan pengembangan
masyarakat didasarkan pada program-program yang disusun oleh masyarakat dengan
bimbingan dari lembaga-lembaga yang mempunyai hubungan tugas dalam pembangunan
masyarakat. Prinsip berkelanjutan memberi arti bahwa kegiatan pembangunan
masyarakat itu tidak dilakukan sekali tuntas tetapi kegiatannya terus menerus
menuju ke arah yang lebih sempurna. Prinsip keserasian diterapkan pada
program-program pembangunan masyarakat yang memperhatikan kepentingan
masyarakat dan kepentingan Pemerintah. Prinsip kemampuan sendiri berarti dalam
melaksanakan kegiatan dasar yang menjadi acuan adalah kemampuan yang dimiliki
oleh masyarakat sendiri.
Prinsip-prinsip
di atas memperjelas makna bahwa program-program pendidikan nonformal berbasis
masyarakat harus dapat mendorong dan menumbuhkan semangat pengembangan
masyarakat, termasuk keterampilan apa yang harus dijadikan substansi
pembelajaran dalam pendidikan nonformal. Oleh karena itu, upaya untuk
menjadikan pendidikan nonformal sebagai bagian dari kegiatan masyarakat
memerlukan upaya-upaya yang serius agar hasil dari pendidikan dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat dalam upaya peningkatan kualitas hidup mereka
Dalam
hal ini perlu disadiri bahwa pengembangan masyarakat itu akan lancar apabila di
masyarakat itu telah berkembang motivasi untuk membangun serta telah tumbuh
kesadaran dan semangat mengembangkan diri ditambah kemampuan serta ketrampilan
tertentu yang dapat menopangnya, dan melalui kegiatan pendidikan, khususnya
pendidikan nonformal diharapkan dapat tumbuh suatu semangat yang tinggi untuk
membangun masyarakat desanya sendiri sabagai suatu kontribusi bagi pembangunan
bangsa pada umumnya.
C. Pendidikan formal
Pendidikan
formal yang sering disebut pendidikan persekolahan, berupa rangkaian jenjang
pendidikan yang telah baku, misalnya SD, SMP, SMA, dan PT. Pendidikan formal
lebih difokuskan pada pemberian keahlian atau skill guna terjun ke masyarakat.
Mengenyam
pendidikan pada institusi pendidikan formal yang diakui oleh lembaga pendidikan
Negara adalah sesuatu yang wajib dilakukan di Indonesia. Mulai dari anak tukang
sapu jalan, anak tukang dagang martabak mesir, anak tukang jamret, anak paka
tani, anak bisnismen, anak pejabat tinggi Negara, dan sebagainya harus
bersekolah, minimal 9 tahun lamanya hingga lulus SMP.
Mungkin
dari kita yang mempertanyakan apakah sebenarnya fungsi pendidikan formal
tersebut?. Kenapa kita bersekolah? Dan mengapa semakin tinggi jenjang
pendidikan kita maka semakin baik?
Sebagai
lembaga pendidikan formal sekolah yang lahir berkembang secara efektif dan
efisien dari pemerintah untuk masyarakat merupakan perangkat yang berkewajiban
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam menjadi warga Negara.
Ada
beberapa karakteristik proses pendidikan yang berlangsung di sekolah yaitu;
1. Pendidikan
diselenggarakan secara khusus dan dibagi atas jenjang yang memiliki hubungan
hierarki.
2. Usia
anak didik dia suatu jenjang pendidikan realive homogeny.
3. Waktu
pendidikan realtif lama sesuai dengan program pendidikan yang harus diselesaikan.
4. Materi
atau isi pendidikan lebih banyak bersifat akademis dan umum.
5. Adanya
penekanan tentang kualitas pendidikan sebagai jawaban kebutuhan dimasa yang
akan dating.
Sebagai
pendidikan yang bersifat formal, sekolah mencari fungsi pendidikan berdasarkan
asa-asas tanggung jawab;
1. Tanggung
jawab formal kelembagaan sesuai dengan fungsi dan tujuan yang ditetapkan
menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini undang-undang
pendidikan UUSPN Nomor 20 tahun 2003.
2. Tanggung
jawab keilmuan berdasarkan bentuk, isi, tujuan dan tingkat pendidikan kepadanya
masyarakat oleh masyarakat dan bangsa.
3. Tanggung
jawab fungsional ialah: tanggung jawab professional pengelola dan pelaksana
pendidikan yang menerima ketetapan ini berdasarkan ketentuan-ketentuan jabatannya.
Tanggung jawab ini merupakan pelimpahan tanggung jawab dan kepercayaan orang
tua (masyarakat) kepada sekolah dari para guru.
Di
dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13
ayat (1) disebutkan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal,
nonformal dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.
Peran
sekolah lembaga yang membantu lingkungan keluarga, maka sekolah bertugas
mendidik dan mengajar serta memperbaiki dan memperhalus tingkah laku anak didik
yang dibawa dari keluarganya. Sementara itu, dalam perkembangan kepribadian
anak didik, peranan sekolah dengan melalui kurikulum, antara lain sebagai
berikut:
1. Anak
didik belajar bergaul sesame anak didik, antara guru dengan anak didik, dan
antara anak didik dengan orang yang bukan guru (karyawan).
2. Anak
didik belajar menaati peraturan-peraturan sekolah.
3. Mempersiapkan
anak didik untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi agama, bangsa dan
Negara.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
apa yang telah diuraikan terdahulu dapatlah ditarik beberapa kesimpulan
berkaitan dengan Pendidikan Nonformal berbasis Masyarakat sebagai berikut :
1. Pendidikan
berbasis masyarakat merupakan upaya untuk lebih melibatkan masyarakat dalam
upaya-upaya membangun pendidikan untuk kepentingan masyarakat dalam menjalankan
perannya dalam kehidupan.
2. Pendidikan
nonformal berbasis masyarakat merupakan suatu upaya untuk menjadikan pendidikan
nonformal lebih berperan dalam upaya membangun masyarakat dalam berbagai bidangnya,
pelibatan masyarakat dalam pendidikan nonformal dapat makin meningkatkan peran
pendidikan yang dapat secara langsung dirasakan oleh masyarakat.
3. Untuk
mencapai hal tersebut pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan pendidikan
nonformal menjadi suatu keharusan, dalam hubungan ini diperlukan tentang
pemehaman kondisi masyarakat khususnya di desa berkaitan dengan hal-hal yang
dibutuhkan dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya, serta turut
bertanggungjawab dalam upaya terus mengembangkan pendidikan yang berbasis
masyarakat, khususnya masyarakat desa
4. Sebagai
lembaga pendidikan formal sekolah yang lahir berkembang secara efektif dan
efisien dari pemerintah untuk masyarakat merupakan perangkat yang berkewajiban
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam menjadi warga Negara.
B. Saran
Untuk
meningkatkan prestasi belajar individu dalam menempuh pendidikan yang
berkualitas, maka saran yang penulis berikan antara lain:
a. Meningkatkan
keterampilan individu terhadap terhadap pendidikan dengan berusaha mengambila
hikmah dan pelajaran yang berasal dari ketiga lingkungan pendidikan.
b. Berusaha
meningkatkan iman dan taqwa, sehingga individu dapat berperilaku dan berbuat
sesuai dengan ajaran agama yang mulia.
c. Meningkatkan
peran serta lingkungan pendidikan semaksimal mungkin untuk dapat membimbing dan
mengarahkan individu untuk lebih berprestasi dalam pendidikan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Faisal, Sanapiah, (tt). Sosiologi
Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya.
Nasution, S. (1983). Sosiologi
Pendidikan,Jemmars, Bandung.
Soelaiman Joesoef dan Slamet
Santosa, (1981). Pendidikan Sosial, Usaha Nasional,Surabaya
Sudjana SF, Djudju. (1983).
Pendidikan Nonformal (Wawasan-Sejarah-Azas), Theme, Bandung.
Tilaar, H.A.R (1997) Pengembangan
Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi, Grasindo, Jakarta, Cetakan Pertama.
Peraturan Pemerintah no 19 tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Undang-undang no 14 tahun 2005
tentang Guru dan Dosen
Undang-undang no 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar