Minggu, 06 Januari 2013

PERANAN PENDIDIKAN NONFORMAL



BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
            Carut-marut dunia pendidikan Indonesia, sungguhnya merupakan sebuah realitas yang sangat memprihatinkan. Mahalnya biaya pendidikan yang tidak serta merta dibarengi dengan peningkatan kualitas secara signifikan, tentu menimbulkan tanda tanya besar mengenai orientasi pendidikan yang sebenarnya sedang ingin dicapai. Ironisnya, disaat beberapa negara tetangga terus berupaya keras melakukan peningkatan kualitas pada sektor pendidikan, banyak pihak di negara ini justru menempatkan pendidikan sebagai suatu komoditas yang memiliki nilai jual yang tinggi. Tak mengherankan bahwa ketika banyak pihak mengejar pendidikan dari sisi kuantitas, tentu menimbulkan berbagai macam konsekuensi logis seperti terabaikannya faktor kualitas pendidikan.

            Parahnya lagi, belakangan kita juga telah disadarkan bahwa banyak lulusan pendidikan formal tidak memiliki spesifikasi keahlian yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Menanggapi kondisi yang seperti ini, Paulus Wisnu Anggoro, Direktur UAJY-Delcam Traning Center, menuturkan bahwa banyak dari kalangan industri yang menjadi kliennya mengeluhkan keterbatasan skill yang dimiliki oleh para lulusan perguruan tinggi, sehingga mau tidak mau seorang fresh graduate harus dilatih dari awal lagi. Ini pemborosan untuk pihak perusahaan sebagai user lulusan perguruan tinggi.

Indonesia mengalami krisis SDM sebenarnya berpangkal pada buruknya kualitas pendidikan yang dilaksanakan. Untuk menghadapi krisis, sistem pendidikan memerlukan bantuan dari semua sektor kehidupan domestik dan pada beberapa kasus, juga memerlukan sumber-sumber di luar batas nasional.
           
B. Rumusan Masalah
  1. Peranan Pendidikan Non formal
  2. Sasaran dan Karakteristik Pendidikan Non Formal
  3. Peranan Keluarga dan Lingkungan





BAB II
PEMBAHASAN

A. Peranan Pendidikan Non Formal
            Lingkungan yang berfungsi melahirkan individu-individu terdidik (educational individuals) bukan hanya lingkungan keluarga yang disebut juga lingkungan pertama, lingkungan sekolah yang disebut juga lingkungan kedua, tetapi juga lingkungan masyarakat yang disebut juga lingkungan ketiga. (Purwanto, 1986 : 148). Peranan penting pendididkan pada lingkungan ketiga yang dikenal dengan lingkungan masyarakat atau pendidikan non formal dikarenakan manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia menjadi bagian dari pelbagai golongan dalam masyarakat, baik dengan sendirinya maupun dengan sengaja. Manusia dengan sendirinya adalah bagian dari keluarga, kota, negara dan kelompok agama. Tapi ada juga golongan yang dengan sengaja dimasuki seperti perkumpulan olah raga, serikat pekerja, koperasi, organisasi politik, perkumpulan kesenian dan lain-lain. Melalui kelompok-kelompok inilah pendidikan non formal dilakukan. Pendidikan non formal dapat menjadi pelengkap dari pendidikan formal, terlebih jika dikaitkan dengan keterbatasan-keterbatasan yang diakibatkan karena adanya krisis.

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sejalan dengan itu, sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajamen pendidikan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global sehinga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan.

Penyelenggaraan pendidikan nonformal (PNF) merupakan upaya dalam rangka mendukung perluasan akses dan peningkatan mutu layanan pendidikan bagi masyarakat. Jenis layanan dan satuan pembelajaran PNF sangat beragam, yaitu meliputi: (1) pendidikan kecakapan hidup, (2) pendidikan anak usia dini, (3) pendidikan kesetaraan seperti Paket A, B, dan C, (4) pendidikan keaksaraan, (5) pendidikan pemberdayaan perempuan, (6) pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja (kursus, magang, kelompok belajar usaha), serta (7) pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Dalam situasi demikian, makna dibalik fenomena bermunculannya lembaga pendidikan non formal sebenarnya lebih ingin memberikan ruang kesadaran baru pada masyarakat, bahwa upaya pendidikan bukan sekedar kegiatan untuk meraih sertifikasi atau legalitas semata. Lebih daripada itu, upaya pendidikan sejatinya merupakan kegiatan penyerapan dan internalisasi ilmu, yang pada akhirnya diharapkan mampu membawa peningkatan taraf kehidupan bagi individu maupun masyarakat dalam berbagai aspek.

Keunggulan lain yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal sebenarnya ada pada fleksibilitas waktu yang dimiliki. Selain bisa dijalankan secara manunggal, pendidikan non formal bisa dijalankan pula secara berdampingan dengan pendidikan formal. Tak mengherankan apabila belakangan lembaga pendidikan non formal tumbuh dengan pesat, berbanding lurus dengan tingginya minat masyarakat terhadap jenis pendidikan tersebut. Tidak hanya itu, lembaga pendidikan non formal juga berpeluang untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai. Hal ini terbukti dari banyaknya lembaga pendidikan non formal seperti ADTC dan Macell Education Center (MEC) yang siap menyalurkan lulusan terbaiknya ke berbagai perusahaan rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut dipertimbangkan ditengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan seperti sekarang ini.

Antonius Sumarno (2001:98), juga menuturkan bahwa kemunculan lembaga pendidikan non formal seperti lembaga pelatihan bahasa misalnya, sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan di era globalisasi. Setidaknya dengan penguasaan bahasa asing, individu akan dimudahkan dalam melakukan penyerapan berbagai ilmu pengetahuan yang saat ini hampir semua referensi terbarunya hanya tersedia dalam bahasa asing. Selanjutnya keunggulan tersebut dapat pula memperluas peluang individu dalam menangkap berbagai kesempatan. Hebatnya lagi, tersedia pula lembaga pendidikan non formal yang tidak hanya membekali lulusannya dengan ilmu, namun juga membekali sikap kemandirian yang mendorong terciptanya kesempatan untuk berwirausaha. Ini merupakan bukti nyata upaya memperkuat struktur riil perekonomian masyarakat yang belakangan makin terpuruk. Disaat banyak orang kebingungan mencari pekerjaan, banyak lulusan lembaga pendidikan non formal yang menciptakan lapangan pekerjaan. Namun dibalik semua keunggulan dan variasi lembaga pendidikan non formal yang tersedia, kejelian masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan non formal sebagai wahana untuk mengasah keterampilan dan menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan penting untuk dipertahankan. Indikator yang paling sederhana adalah seberapa besar kesesuian bidang pelatihan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal dengan minat maupun bidang yang saat ini kita geluti.





Tujuannya, tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari pelatihan lembaga pendidikan non formal dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi minat dan dunia yang kita geluti, serta meningkatkan keunggulan kompetitif yang kita miliki. Lebih lanjut, kejelian dalam memilih juga berfungsi pula agar investasi finansial yang telah ditanamkan tidak terbuang percuma karena program yang sedang dijalani "terhenti di tengah jalan".

            Pendidikan non formal diharapkan dapat mengatasi pelbagai problematika kehidupan. Seperti diungkapkan Buchari (1994 :27) : “Apa yang harus kita lakukan, agar kegiatan-kegiatan pendidikan non formal yang kita selenggarakan benar-benar membawa kemajuan yang berarti, yaitu kemajuan yang lebih besar daripada pembengkakan berbagai problematika yang di hadapi, dan tidak kalah pula pesatnya dibandingkan dengan laju kemajuan yang dicapai oleh negara-negara lain”. Pendidikan melalui lingkungan masyarakat atau pendidikan non formal memiliki berbagai nama, seperti adult education (pendidikan orang dewasa), continuing education (pendidikan lanjutan), on-the-job training (latihan kerja), accelerated training (latihan dipercepat), farmer or worker training (latihan pekerja atau petani), dan extension service (pelayanan pendidikan tambahan) dan dianggap sebagai sistem bayangan (shadow system).
Pelaksanaan pendidikan non formal dapat dilihat perbedaannya pada kasus negara industri dan negara berkembang.
Pada negara maju seperti di Eropa dan Amerika Utara pendidikan non formal dipandang sebagai pendidikan lanjutan bagi kehidupan seseorang. Pendidikan seumur hidup sangat berarti dalam memajukan dan mengubah masyarakat karena tiga alasan : (1) untuk memperoleh pekerjaan ; (2) menjaga ketersediaan tenaga kerja terlatih dengan teknologi dan pengetahuan baru yang diperlukan untuk melanjutkan produktivitas; (3) memperbaiki kualitas dan kenyamanan hidup individu melalui pengayaan kebudayaan dengan memanfaatkan waktu luang. Dalam perspektif ini, maka pendidikan lanjutan bagi guru memiliki arti strategis, jika gagal memberikan mereka pengetahuan yang mutakhir, maka mereka akan “memberikan pendidikan kemarin bagi generasi esok”.

            Pada negara yang sedang berkembang, pendidikan non formal berperan untuk mendidik begitu banyak petani, pekerja, usahawan kecil dan lainnya yang tidak sempat bersekolah dan mungkin tidak memiliki keterampilan maupun pengetahuan yang dapat diamalkan bagi dirinya sendiri maupun bagi pembangunan bangsanya. Peran lainnya adalah untuk meningkatkan kemampuan dari orang-orang yang memiliki kualifikasi seperti contohnya guru dan lainnya untuk bekerja di sektor swasta dan pemerintah, agar mereka bekerja lebih efektif. Di Tanzania non formal berperan untuk menyelamatkan investasi pendidikan dari mereka yang tamat sekolah maupun drop out dari sekolah menengah, namun tidak memperoleh pekerjaan, dengan memberikan kepada mereka pelatihan-pelatihan khusus (Coombs, 1968 : 143).  Di Indonesia pendidikan non fornal mencakup pendidikan orang dewasa yang bertujuan agar bangsa Indonesia kenal huruf; dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang dewasa; mempergunakan segala sumber penghidupan yang ada; berkembang secara dinamis dan kuat; serta tumbuh atas dasar kebudayaan nasional . Tujuan yang sudah digariskan pada peta pendidikan sejak 27 Desember 1945 oleh BPKNIP ini (Poerbakawatja dan Harahap, 1981:270) masih memiliki relevansi hingga kini apalagi dalam menghadapi menghadapi globalisasi.

Konsep awal dari Pendidikan Non Formal ini muncul sekitar akhir tahun 60-an hingga awal tahun 70-an. Philip Coombs dan Manzoor A., P.H. (1985) dalam bukunya The World Crisis In Education mengungkapkan pendidikan itu pada dasarnya dibagi menjadi tiga jenis, yakni Pendidikan Formal (PF), Pendidikan Non Formal (PNF) dan Pendidikan In Formal (PIF). Khusus untuk PNF, Coombs mengartikannya sebagai sebuah kegiatan yang diorganisasikan diluar system persekolahan yang mapan, apakah dilakukan secara terpisah atau bagian terpenting dari kegiatan yang lebih luas dilakukan secara sengaja untuk melayani anak didik tertentu untuk mencapai tujuan belajarnya.

Penjelasan yang sama terdapat pula di UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN), dimana disana dijelaskan bahwa pendidikan diselenggaran di dua jalur, yakni jalur sekolah (pendidikan formal) dan jalur luar sekolah (PNF dan PIF). Dalam perubahan UU tentang SPN yang diperbaharui menjadi UU Nomor 20 Tahun 2003, istilah jalur pendidikan sekolah dan pendidilan luar sekolah berubah menjadi system PF, PNF dan PIF. “Dalam UU ini dijelaskan bahwa PNF adalah jalur pendidikan diluar PF yang dapat dilaksanakan secata terstruktur dan berjenjang. Sedangkan PIF merupakan jalur pendidikan keluarga dan lingkungan,” terang Syukri (1997:34).

Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 26 ayat 1 dijelaskan bahwa Pendidikan Non Formal  diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/atau pelengkap PF dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Lebih lanjut dalam ayat 2 dijelaskan Pendidikan Non Formal  berfungsi mengembangkan potensi peserta didik (warga belajar) dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian professional. Sementara di ayat 3, disana disebutkan bahwa Pendidikan Non Formal  meliputi pendidikan kecakapan hidup (life skills); pendidikan anak usia dini; pendidikan kepemudaan; pendidikan pemberdayaan perempuan; pendidikan keaksaraan; pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja; pendidikan kesetaraan; serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.

Ditilik dari satuan pendidikannya, pelaksanaan Pendidikan Non Formal  terdiri dari kursus; lembaga pelatihan; kelompok belajar; Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM); majelis taklim; serta satuan pendidikan yang sejenis (pasal 26 ayat 4). Disamping itu, dalam pasal 26 ayat 5, disana dijelaskan bahwa kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hasil pendidikan keaksaraan dapat dihargai setara dengan hasil program PF setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemda dengan mengacu pada SPN (pasal 26 ayat 6).


B. Sasaran dan Karakteristik Pendidikan Non Formal. 
Sasaran Pendidikan Non Formal  dapat ditinjau dari beberapa segi, yakni pelayanan, sasaran khusus, pranata sistem pengajaran dan pelembagaan program. Ditilik dari segi pelayanan, sasaran Pendidikan Non Formal  adalah melayani anak usia sekolah (0-6 tahun), anak usia sekolah dasar (7-12 tahun), anak usia pendidikan menengah (13-18 tahun), anak usia perguruan tinggi (19-24 tahun). Ditinjau dari segi sasaran khusus, Pendidikan Non Formal  mendidik anak terlantar, anak yatim piatu, korban narkoba, perempuan penghibur, anak cacat mentau maupun cacat tubuh. Dari segi pranata, penyelenggaraan kegiatan pembelajaran dilakukan dilingkungan keluarga, pendidikan perluasan wawasan desa dan pendidikan keterampilan. Di segi layanan masyarakat, sasaran Pendidikan Non Formal  antara lain membantu masyarakat melalui program PKK, KB, perawatan bayi, peningkatan gizi keluarga, pengetahuan rumah tangga dan penjagaan lingkungan sehat. Dilihat dari segi pengajaran, sasaran Pendidikan Non Formal  sebagai penyelenggara dan pelaksana program kelompok, organisasi dan lembaga pendidikan, program kesenian tradisional ataupun kesenian modern lainnya yaitu menjadi fasilitator bahkan turut serta dalam program keagamaan, seperti mengisi pengajaran di majelis taklim, di pondok pesantren, dan bahkan di beberapa tempat kursus. Sedangkan sasaran Pendidikan Non Formal  ditinjau dari segi pelembagaan, yakni kemitraan atau bermitra dengan berbagai pihak penyelenggara program pemberdayaan masyarakat berkoordinasi dengan desa atau pelaksana program pembangunan.








Bagaimana dengan karakteristik Pendidikan Non Formal? Secara khusus Pendidikan Non Formal  memiliki spesifikasi yang ‘unik’ dibanding pendidikan sekolah, terutama dari berbagai aspek yang dicakupinya. Ini terlihat dari tujuan Pendidikan Non Formal , yakni memenuhi kebutuhan belajar tertentu yang fungsional bagi kehidupan masa kini dan masa depan, dimana dalam pelaksanananya tidak terlalu menekankan pada ijazah. Dalam waktu pelaksanannya, Pendidikan Non Formal  terbilang relatif singkat, menekankan pada kebutuhan di masa sekarang dan masa yang akan datang serta tidak penuh dalam menggunakan waktu alias tidak terus menerus.

Isi dari program Pendidikan Non Formal ini berpedolam pada kurikulum pusat pada kepentingan peserta didik (warga belajar), mengutamakan aplikasi dimana menekanannya terletak pada keterampilan yang bernilai guna bagi kehidupan peserta didik dan lingkungannya. Soal persyaratan masuk Pendidikan Non Formal, hal itu ditetapkan berdasarkan hasil kesepakatan bersama antara sesama peserta didik. Proses belajar mengajar dalam Pendidikan Non Formal  pun relative lebih fleksibel, artinya diselenggarakan di lingkungan masyarakat dan keluarga.


C. Peranan Keluarga dan Lingkungan
Bagi anak usia dini, orangtua merupakan guru yang terpenting dan rumah tangga merupakan lingkungan belajar utamanya. Harus diingat bahwa fungsi PAUD bukan sekedar untuk memberikan berbagai pengetahuan kepada anak melainkan yang tidak kalah pentingnya adalah untuk mengajak anak berpikir, bereksplorasi, bergaul, berekspresi, berimajinasi tentang berbagai hal yang dapat merangsang pertumbuhan sinaps baru dan memperkuat yang telah ada serta menyeimbangkan berfungsinya kedua belahan otak (Jalal, 2002: 15). Oleh karena itu lingkungan yang baik untuk PAUD adalah lingkungan yang mendukung anak melakukan kegiatan tersebut. Selama ini ada anggapan bahwa lingkungan yang baik adalah ruangan yang berdinding putih, bersih, dan tenang. Sebuah anggapan yang keliru karena ruangan tanpa rangsangan semacam itu justru menghambat perkembangan anak.
Memang benar bahwa faktor bawaan juga berpengaruh terhadap kecerdasan seseorang tetapi pengaruh lingkungan juga merupakan faktor yang tidak kalah pentingnya. Jika faktor bawaan dimisalkan sebagai dasar maka faktor lingkungan merupakan pengembangannya. Tanpa diperkaya oleh lingkungan, modal dasar tersebut tidak akan berkembang bahkan bisa jadi menyusut.
Jika orangtua karena satu dan lain hal tidak melaksanakan fungsinya sebagai pendidik, fungsi ini dapat dialihkan (sebagian) kepada pengasuh, lembaga pendidikan/penitipan anak, lingkungan atau siapa saja yang mampu berperan sebagai pengganti. Peran pengganti ini dapat dilakukan baik di lingkungan keluarganya (pengasuh) atau di luar lingkungan keluarga (KB, TPA & lembaga PAUD sejenis).
Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak adalah sangat penting. Pengaturan lingkungan yang membuat anak dapat bergerak bebas dan aman untuk bereksplorasi merupakan kondisi yang sangat baik bagi perkembangan anak, anak dapat meningkatkan daya imajinasi dan kreativitas serta diperolehnya pengalaman-pengalaman baru.



























BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sangat penting dan mendasar sebab merupakan hulu dalam pengembangan sumber daya manusia. Periode emas dalam tumbuh kembang anak hanya terjadi sekali dalam kehidupan manusia yang dimulai sejak lahir hingga usia delapan tahun. Penelitian di bidang neurologi mengungkapkan bahwa perkembangan kecerdasan anak 50% terjadi pada empat tahun pertama kemudian mencapai 80% hingga usia delapan tahun dan akhirnya 100% pada usia 18 tahun.

Anak-anak yang berada pada rentang usia dini yang memperoleh asupan pendidikan masih sangat minim. Anak usia 0 – 6 tahun berjumlah 26,09 juta akan tetapi yang terlayani dalam PAUD di jalur pendidikan formal (TK/RA) baru sekitar dua juta anak sehingga peran pendidikan non formal dalam membantu mengatasi masalah tersebut sangat penting dan mendesak.

Kurangnya anak usia dini yang mendapatkan layanan pendidikan disebabkan beberapa faktor diantaranya: (1) kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan pada anak usia dini; (2) masih terbatas dan tidak meratanya lembaga layanan PAUD yang ada di masyarakat terutama di pedesaan. Sebagai contoh pertumbuhan TK, KB/RA, dan TPA di perkotaan lebih pesat dibandingkan di pedesaan; (3) rendahnya dukungan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Terdapat 41.317 buah TK di seluruh Indonesia, hanya 225 buah (0.54%) TK yang didirikan oleh pemerintah, selebihnya dibangun oleh swasta.













B. Saran
Sangat diperlukan sekali kesadaran dan kepedulian dari berbagai kalangan baik dari pemerintah, pihak sekolah maupun para orang tua. Dimana kesemuanya ( pemerintah, pihak sekolah, orang tua ) sangat berpengaruh terhadap jumlah anak yang akan putus sekolah

































DAFTAR PUSTAKA

Abdulhak, Ishak. (2002). “Memposisikan Pendidikan Anak Dini Usia Dalam Sistem Pendidikan Nasional”. Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 54 – 59.
Anwar dan Ahmad, Arsyad. 2007. Pendidikan Anak Dini Usia. Bandung: Alfabeta.
Asfandiyar, Andi Yudha. 2009. Kenapa Guru Harus Kreatif?. Jakarta: Mizan Media Utama.
CHA, Wahyudi dan Damayanti, Dwi Retna. 2005. Program Pendidikan Untuk Anak Usia Dini di Prasekolah Islam. Jakarta: Grasindo.
Depdikbud. (1998). Petunjuk Kegiatan Belajar Mengajar Taman Kanak-kanak. Jakarta: Depdikbud.
Depdiknas. (2002). Sambutan Pengarahan Direktur Jenderal PLSP pada Lokakarya Pengembangan Program PADU, Jakarta.
Depdiknas. (2003). Bahan Sosialisasi Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.
Direktorat Tenaga Teknis. (2003). Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia 0 – 6 Tahun. Jakarta: Ditjen PLSP – Depdiknas.
Direktorat PADU. (2001). Informasi Tentang Pendidikan Anak Dini Usia Pendidikan Prasekolah Pada Jalur Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: Direktorat PADU -Ditjen PLSP – Depdiknas.
Direktorat PADU. (2002). Acuan Menu Pembelajaran pada Pendidikan Anak Dini Usia (Menu Pembelajaran Generik). Jakarta: Direktorat PADU - Ditjen PLSP – Depdiknas.
Direktorat PADU. (2003). Model PADU Terintegrasi Posyandu. Jakarta: Direktorat PADU - Ditjen PLSP – Depdiknas.
Gutama. (2003). “Kebijakan Direktorat Pendidikan Anak Dini Usia (PADU)”. Makalah pada Pelatihan Penyelenggara Program PADU, Bandung.
Hadis, Fawzia Aswin. (2002). “Strategi Sosialisasi Dalam Memberdayakan Masyarakat”. Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 25 – 28.
Indrawati, Maya dan Nugroho, Wido. 2006. Mendidik dan Membesarkan Anak Usia Pra-Sekolah. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
Isjoni. 2007. Saatnya Pendidikan Kita Bangkit. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jalal, Fasli. (2002). “Meningkatkan Kesadaran Masyarakat Akan Pentingnya PADU”. Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 9 – 18.
Rosadi, Damanhuri. (2002). “Pendidikan Anak Dini Usia Dalam Kerangka Otonomi Daerah". Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 60 – 72.
Sudjana, D. (2001). Pendidikan Luar Sekolah. Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falasafah, Teori Pendukung, Asas. Bandung: Penerbit Falah Production.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar